Art is moreover available in bareness, imperfection or being tucked in kerfs. It sometimes needs to be reborn to discover its fate.
(Multazam Kamil)
(Multazam Kamil)
Perjalanan Karier
MULTAZAM (Zam) Kamil lahir pada tanggal 05 Agustus 1969 di Makassar, Sulawesi Selatan. Ia adalah alumni angkatan tahun 1990 Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Kini dengan seorang istri dan dua orang putrinya tinggal di Wirosaban, Yogyakarta. Tidak sebagaimana para sejawatnya di ISI Yogyakarta yang rata-rata bergaya ekspressionis, karya-karya Zam Kamil digolongkan ke dalam genre impressionis.
Semasa kuliah Zam Kamil aktif dalam kegiatan kemahasiswaan di almamaternya. Dan yang terutama ia pun selalu terlibat mengikuti pameran-pameran “Spirit 90”. Adapun Spirit 90 adalah nama bagi kelompok mahasiswa Fakultas Seni Rupa angkatan 1990. Awal tahun 1994, Spirit 90 melangsungkan pameran selama lima hari (5-10 Februari 1994) di Purna Budaya, Yogyakarta. Dalam event ini semua lukisan yang dipamerkan ludes terjual bak kacang goreng. Beberapa orang meyakini peristiwa itu merupakan ledakan ‘bom seni lukis’ di Yogyakarta yang pertama. Setelah sukses pameran tahun 1994 itu, Spirit 90 masih terus berpameran sekitar dua belas kali hingga tahun 2005.
Kendati teman-teman sekelasnya yang lain tengah menikmati gelimang sukses yang baru didapat itu, Zam Kamil lebih memilih tidak mengikuti arus dan malah meninggalkan lingkungan pergaulannya. Ia tidak percaya dengan kenyataan baru yang dialaminya. Ia lalu berkelana ke berbagai tempat. Terhitung sejak tahun 1994 hingga 1999 ia melanglang buana ke Bali, Mataram, Toraja, Bandung, Jakarta serta berbagai tempat lain yang menarik hatinya. Di sana ia berputar haluan memasuki dunia para junkies, kelompok perempuan jalanan, komunitas anak-anak jalanan, para bromocorah bahkan kelompok dakwah di masjid-masjid. Sebuah dunia yang bagi awam tak ada sangkut-paut sama sekali dengan aktivitasnya sebagai seorang seniman lukis. Ia menyebut apa yang dilakoninya itu sebagai ‘perjalanan observasif’.
Masih dalam rentang waktu yang sama Zam Kamil pun masih tetap berkarya untuk sekadar memenuhi undangan pameran bersama yang digagas oleh para sahabatnya di Spirit 90. Ia bahkan masih sempat melakukan penelitian lukisan dinding situs prasejarah gua Leangleang di Sulawesi Selatan. Penelitian ini adalah dalam rangka penyusunan skripsi strata satunya. Uniknya selama proses tersebut Zam Kamil harus mendapatkan bimbingan dari dosen strata dua (S-2) karena bobot penelitiannya dianggap melampaui kapasitas pada umumnya calon sarjana strata satu (S-1).
Memasuki tahun 2001 ia melangsungkan pameran tunggalnya di Leangleang Art Studio, Yogyakarta. Selang enam tahun kemudian, yakni tepatnya tahun 2007 Zam Kamil melakukan lompatan besar dalam sejarah karier melukisnya. Ia diundang untuk melangsungkan pameran tunggalnya di The Aryaseni Art Gallery, Singapura. Sekitar 20 karya lukis ia kirimkan ke Singapura. Hingga saat ini mediasi lelang karya-karya lukis Zam Kamil lainnya melalui Borobudur Auction dan Masterpiece Auction; dua forum lelang paling bergengsi di Singapura, masih terus dilakukan oleh para kolektornya.
Medio tahun 2008 CG Art Space Jakarta dibuka. Pada mulanya CG Art Space menempati Gedung Plaza Indonesia level 3 #56, Jl. MH Thamrin, Jakarta Pusat. Dan untuk melengkapi soft opening, Zam Kamil diundang berpameran tunggal di sana. Barangkali moment tersebut merupakan pembukaan galeri paling monumental dalam sejarah keduanya; Zam Kamil dan manajemen CG Gallery. Betapa tidak, acara pameran yang ‘hanya’ berlangsung sepuluh hari tersebut (6-15 Mei 2008) sukses menjual hampir seluruh karya yang dipajang, yakni kurang-lebih sekitar 30 karya lukis. Fantastis. Sungguh sejarah gemilang yang sulit terulang kembali. Dokumentasi CG Gallery mengenai pameran tunggal ini dapat disaksikan di bawah ini.
Proses Kreatif
Pengagum Picasso dan Vincent Willem van Gogh ini oleh redaktur Majalah Asian Art News, Ian Findlay, dihubung-hubungkan dengan Henri Matisse dan Paul Cezanne. Bukan hanya Ian, bahkan Wang Zineng, seorang kurator berwarga negara Singapura, dan Cosmas D. Gozali dari The Arya Management pun bernada serupa. Barangkali memang ada kemiripan semangat dalam bentuk-bentuk persona (figur) kedua seniman beda jaman itu.
Ada empat hal fundamental yang diolah Zam Kamil melalui karya-karyanya, yakni: 1. persona (figur); 2. teks; 3. komposisi; 4. proses.
1. Persona
Persona adalah bagian tak terpisahkan dari narasi karya-karya Zam Kamil. Persona-persona itu sengaja kehilangan detail. Telanjang, tak lengkap wajahnya, tak jelas ekspresinya, tak jelas identitasnya, beberapa tak jelas gendernya dan tak memiliki atribut pula. Para audiens diberi ruang seluas-luasnya untuk berimajinasi mengisi kekosongan-kekosongan itu. Namun dikemudian hari beberapa diantara persona ini sudah mengenakan busana bahkan aksesori. Lalu apa yang hendak disampaikan melalui persona-persona yang serba ‘tak jelas’ itu?
Zam Kamil rupanya sangat tertarik dengan gestur. Isyarat badaniahlah yang hendak disampaikannya melalui persona-persona tersebut. Ia acap berkelakar, “Ketika kata-kata tak bisa lagi dibahasakan karena semakin menumpuk dan menyesakkan, tubuhlah yang akan spontan berbicara, berteriak, marah bahkan terus menggeliat, dan pada puncaknya adalah diam.”
Wang Zineng dalam kuratorialnya pada pameran tunggal bertajuk A(‘)postrophe menegaskan bahwa figur-figur sederhana dan abstraktif ala Zam Kamil mengingatkan kembali akan manifesto kaum fauvist pada awal abad ke-20 yang dikumandangkan oleh Andre Derain dan Henri Mattise yang keseluruhan karya mereka mengangkat potensi ekspresif melalui warna dan kebebasan artistik dari realisme akademis.
2. Teks
Selama masa ‘perjalanan kontemplatif’ serta penelitiannya di gua Leangleang, Sulawesi Selatan, Zam Kamil menemukan literatur-literatur yang dikemudian hari ternyata memengaruhi proses kreatifnya. Teks-teks yang terkesan disisipkan sembarangan itu apabila diteliti lebih lanjut banyak mengutip kata-kata di dalam naskah I La Galigo, sebuah epos Bugis terpanjang di dunia. Persona ‘tanpa gender’ yang kadangkala muncul pada beberapa lukisan Zam Kamil juga merupakan bukti keterkaitannya dengan mitologi Yunani kuno dan fenomena para bissu yang hingga sekarang masih menjadi bagian masyarakat Makassar.
Bahkan teks ini bisa jadi sudah ada jauh sebelum karya lukis itu sendiri terlahir sebab banyak sekali karya-karya lukis Zam Kamil yang terinspirasi dari puisi-puisi yang ditulisnya sendiri maupun buah tangan orang lain. Di satu sisi adakalanya teks-teks ini pun hanya berupa racauan-racauan sang seniman. Nilainya bukan lagi makna namun berganti menjadi bentuk. Bentuk-bentuk teks yang terlihat itu pada akhirnya menyatu sebagai kontur dan warna. Lebih jauh lagi, teks-teks tersebut bagi Zam Kamil tak ubahnya untaian tasbih ketika zikir dikumandangkan di dalam bathinnya. Atau ibarat dialog (baca: doa) seorang ibu (baca: Zam Kamil) yang sedang mengandung, kepada calon ‘anak rohani’-nya.
3. Komposisi
Dalam hal Zam Kamil, Jules O Bawole, seorang kurator alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pernah mengatakan bahwa selain gestur, komposisi (kontur dan warna) merupakan senjata pamungkas Zam Kamil untuk membangun irama dan intonasi ke dalam ungkapan visual yang puitik pada setiap karya-karyanya.
Ian Findlay kemudian melanjutkan bahwa keberanian Zam Kamil mengumbar warna-warna seperti biru dan hijau hingga warna-warna kontras seperti merah dan kuning justru merupakan kemampuan khususnya dalam hal menghidupkan situasi yang ia ciptakan. Dikemudian hari warna-warna matang seperti merah, hijau, biru, kuning tersebut makin sering digunakan. Hal ini tidak mengherankan sebab mengenai pilihan warna-warna serta komposisinya, Zam Kamil jelas-jelas menegaskan bahwa dirinya adalah penganut fauvist.
4. Proses
Proses yang dimaksud tentu saja ada keterkaitan dengan pengalaman bathin sang seniman. Barangkali untuk merunut proses kreatif ini dapat dimulai dari perkembangan tematik karya-karya Zam Kamil dari tahun 1990 ketika ia pertama kali memulai karier melukisnya hingga sekarang. Ia memulai dengan serial the wild thing, solitary, junkies, journey, merah putih, puisi, tolak bala, cahaya-cahaya hingga yang terakhir ialah serial go green. Lalu apa yang menarik mengenai perihal tematik ini?
Sudah diuraikan pada bagian sebelumnya mengenai perjalanan observasif yang pernah dilakukan Zam Kamil. Tentu saja dengan berjalannya waktu, lambat-laun ‘laku berkesenian’ itu akan mengkristal dan berubah menjadi pengalaman bathin. Pengalaman bathin ini sangat unik dan tidak akan pernah sama antara seniman satu dengan lainnya-merupakan cikal-bakal dari proses kreatif itu sendiri. Dan bukankah karya-karya unik hanya dilahirkan oleh pribadi-pribadi yang unik pula?
Syahdan, tema-tema karya lukis Zam Kamil tidak pernah berhenti. Bahkan ia tidak memiliki kejelasan waktu sama sekali. Bisa jadi saling tumpang tindih. Hal ini pula yang menyebabkan persona-persona dalam lukisan Zam Kamil juga masih akan terus mengalami eksplorasi bentuk. Ia masih akan terus menjadi. Karya-karya yang sudah ada perlu diperas kembali menjadi karya-karya baru, ialah untuk menemukan esensinya (takdirnya).
Primadona, 1995 |
Primadona, 1999 |
Persoalan ‘proses’ ini dapat dibuktikan pada karya berjudul Kutunggu di Jakarta yang ‘pernah selesai’ pada tahun 2006 namun ditandatangani ulang oleh sang seniman pada tahun 2010. Atau lihat saja karya Primadona yang semula ditandatangani tahun 1995, namun kemudian diperas menuju esensi, ‘disederhanakan’ dan akhirnya ditandatangani kembali tahun 1999. Bentuk-bentuk telanjang akan kembali kepada ketelanjangan.
Generasi yang Hilang, 2002 |
Generasi yang Hilang, 2002 |
Bagi Zam Kamil kesempurnaan karya baru tercipta justru ketika telah menempel ‘gangguan-gangguan’ di sana. Coretan-coretan yang mencolok mata itu. Boleh jadi lantaran Zam Kamil tidak percaya di bawah matahari benar-benar ada kesempurnaan.
Demikianlah proses panjang dan lika-liku perjalanan seorang Zam Kamil dalam melahirkan karya-karya lukis terbaiknya. Namun malangnya proses kreatif yang sangat berharga ini nyaris tidak mungkin dibaca dalam lembar curriculum vitae sang seniman. Perlu waktu agak panjang untuk merunut kualitas sebuah karya sebab karya yang utuh, kuat dan long ever lasting hanyalah terlahir dari pribadi sang seniman yang kuat pula, cukup menerima pukulan-pukulan kehidupan dan telah cukup pula menyerap persoalan lain di luar persoalan dirinya sendiri. Maka untuk itulah tulisan ini dibuat, yakni untuk mengungkapkan apa yang tersirat dari yang tersurat.
Yogyakarta, Oktober 2010
Dedi Yuniarto
Dedi Yuniarto
No comments:
Post a Comment