Wednesday, June 27, 2012

TETAP BERTARUNG, TETAP BERTAHAN DAN TETAP MENCIPTA


I Made Wiradana: Raining #1, 130 x 150 cm
Mixedmedia on canvas, 2012

Apabila menyimak obrolan-obrolan para anggota Kelompok Jago Tarung Yogyakarta, kita dapat segera ketahui semangat tema “And The Cocks Are Still Fighting” ini, dan mengapa pemilihan perupa dilakukan secara eklektik. Selaku kelompok seniman, mereka memandang penting proses yang ditempuh oleh seorang seniman dalam menemukan identitasnya sendiri, sekaligus memandang penting untuk mendukung seniman yang baru memulai kariernya. Anggota-anggota Kelompok Jago Tarung Yogyakarta yakni Dedi Yuniarto sebagai manajer, dan Zam Kamil, Nurul ‘Acil’ Hayat serta Moch Basori sebagai seniman kunci.
DAN JAGO-JAGO masih terus bertarung...!! Tema ini ditafsirkan secara luas meski sebagian besar perupa merefleksikannya sebagai semangat perjuangan. Metafor pertarungan ayam jantan di mana jago-jago niscaya bertahan hidup, menghimpun segala daya tanpa hirau rasa sakit dan ajal yang mengancam, tetap mengungkapkan semangat juang. Bagi para seniman ini, terkadang si lawan adalah diri sendiri, terkadang jagat seni rupa -- atau medan sosial seni rupa beserta para “pemain”-nya, kadang realitas perjuangan untuk sekadar bertahan hidup, dan terkadang pula ideologi yang terwujud sebagai negara, masyarakat dan “isme-isme”.

Bicara tentang “isme-isme”, ada kesejajaran antara era Impresionisme di Paris, dengan (era kontemporer) di Paris-nya jagat seni rupa Indonesia, yakni Yogyakarta. Yogyakarta sebagai sebuah entitas seni rupa paling subur, inspirasi dan dialog di antara para seniman sangat hidup. Belum pernah terjadi sebelumnya di Paris pada masa itu literasi visual antara kalangan perupa dan apresiatornya melalui media dan reproduksi karya seni. Kala itu dunia serasa kian luas dan perjalanan jadi lebih mudah, sebagaimana terjadi saat ini. Komunikasi lebih cepat lewat internet, dan “persekutuan artistik” bisa mencapai tempat-tempat yang jauh dengan lebih gampang. Di Paris kala itu, penulisan jurnalistik tentang senirupa juga sedang populer, dan perupa sadar mereka harus merangkul media. Monet berujar berang di tahun 1883, “Sekarang ini tak ada yang bisa dicapai tanpa pers; sampai pakar paling cerdas pun peka pada suara paling lirih yang dibisikkan koran.”1

Pikirkanlah kemunculan para pedagang barang seni (art dealer) yang menentukan perupa mana yang laku dan mana yang tidak laku, yang sebagian hanya melihat senirupa sebagai komoditi, kendati ada pula yang sungguh-sungguh peduli terhadap kesejahteraan perupa. Patron dan kolektor kala itu melimpah, membeli lukisan sebagai simbol kekayaan dan sebaliknya menjadi sumber gizi finansial bagi seniman, persis sebagaimana kolektor jaman sekarang melihat karya seni melulu sebagai investasi. Para seniman Indonesia saat ini berada dalam masa ketika literasi visual mereka jauh lebih tinggi tarafnya ketimbang yang pernah terjadi sebelumnya. Demikian, dan lebih dari yang sudah-sudah, mereka kini bergantung pada surat kabar dan kurator untuk menggaet pujian atas karya mereka, sehingga sangat bergantung kepada patron.

I Made Wiradana: Raining #2, 130 x 150 cm
Mixedmedia on canvas, 2012
Siapa pun yang berkecimpung dalam dunia seni rupa Indonesia perlu mengetahui nama-nama para pemainnya, mereka tahu apa yang “hot” dan “tidak hot”. Di Bali kita dapat melihat betapa pasar seni bagi para seniman penjiplak yang menjual barang mereka ke wisatawan sangat dipengaruhi oleh apa yang dianggap laku dalam jagat seni “murni”. Pedagang barang seni seringkali terlalu berlebihan menggelembungkan harga dan nilai karya, sehingga perupa tertentu mengenyam “booming” dan sebaliknya dalam beberapa kasus justru menyebabkan seniman lain tak dapat menjual karya. Para seniman yang langsung “melejit” tanpa proses dan eksplorasi yang sepatutnya dalam mencipta dan menemukan jati diri disebut “seniman gorengan”, menggiurkan sebagaimana makanan cepat saji namun minus gizi.

Perbedaan mencolok antara seniman era Impresionis dan seniman kontemporer di Jogja ialah bahwa segelintir kecil seniman berasal dari kalangan bangsawan atau borjuis. Sementara banyak diantaranya datang dari latar belakang keluarga petani kecil atau petani buruh yang kedudukannya di dalam hierarkhi masyarakat masih teramat rentan dalam hal mempertahankan hak-hak mereka. Sebagaimana para seniman di jagat Impresionis dulu, para seniman kontemporer Indonesia ini berupaya untuk melepaskan diri dari dogma, dan mendefinisikan dunia mereka seturut pandangan dan pemikiran mereka sendiri 2.

Apabila menyimak obrolan-obrolan para anggota Kelompok Jago Tarung Yogyakarta, kita dapat segera ketahui semangat tema “And The Cocks Are Still Fighting” ini, dan mengapa pemilihan perupa dilakukan secara eklektik. Selaku kelompok seniman, mereka memandang penting proses yang ditempuh oleh seorang seniman dalam menemukan identitasnya sendiri, sekaligus memandang penting untuk mendukung seniman yang baru memulai kariernya. Anggota-anggota Kelompok Jago Tarung Yogyakarta yakni Dedi Yuniarto sebagai manajer, dan Zam Kamil, Nurul ‘Acil’ Hayat serta Moch Basori sebagai seniman kunci.

Bagi Kelompok Jago Tarung Yogyakarta, seleksi 18 (delapan belas) perupa ini terutama didorong oleh hasrat untuk ingin kembali kepada seni dan kesenimanan -- seni dan kesenimanan sebagai ekspresi kemanusiaan dan bukan $imbol $uk$e$ dan tak-sukses; bukan hanya seniman “penting” karena punya “NAMA”; bukan pula para seniman baru yang disandangi berbagai gelar, misalnya “Perupa Baru yang Naik Daun”. Pameran Jago Tarung ini menawarkan pemaknaan kata “baru” dengan menjauhi pengertian istilah baru menurut para “pemain” di medan sosial senirupa Indonesia. “Baru” di sini tidak ditentukan oleh apa yang diciptakan melainkan pengalaman kita terhadapnya. Yang juga dipentingkan adalah proses dan dedikasi tanpa peduli berapa lama seseorang telah punya nama di jagat seni rupa Indonesia. Maka kita menemukan nama-nama seperti Dyan Anggraini dan Nasirun berjajar dengan Ethel Kings dan Untung Yuli Prastiawan yang relatif sebagai pendatang baru di dunia seni rupa.

Secara garis besar pameran ini dapat dibagi menjadi tiga kategori pemaknaan atas perjuangan atau pertarungan. Yang pertama yakni perjuangan personal si seniman. Kategori kedua adalah pandangan seniman tentang dunianya dan perjuangan mereka menghadapi dunia tersebut, berikut transformasi yang terjadi dalam kisahnya. Dan yang ketiga, seniman menyuarakan perjuangan pihak-pihak lain. Lebih jauh lagi diangkat pula kisah dibalik karya-karyanya, dan pemaknaan atas kata “bertarung” atau “berjuang” seturut pemahaman masing-masing. Bisa jadi bentuk pertarungannya berbeda-beda; pertarungan untuk setia kepada integritas kesenian dan kesenimanan dalam kaitan dengan pasar; pertarungan dengan diri sendiri dan tanggung jawab diri; pertarungan untuk berproduksi; dan pertarungan dengan diri sendiri yang ternyata tidak tunggal dan utuh. Ada seniman yang sanggup mengabaikan saja apa kata orang, karena ia punya kebebasan finansial atau tak harus bertanggung jawab terhadap siapapun selain diri sendiri. Sementara ada pula yang harus menghadapi “iblis” yang menggoda untuk tak mengubah gaya. Tentu saja, dalam diri tiap seniman berkecamuk gugatan dan pertanyaan tiada akhir. Maka jago-jago masih terus bertarung....

Body Movement (diptych), 140 x 120 cm, Mixedmedia on canvas, 2011
Tubuh-tubuh yang menari melintasi bidang kanvas, tangan-tangan primitif yang menggapai-gapai, pemiuhan tokoh (subyek maupun karakter) dalam karya-karyanya, semuanya mengisyaratkan perubahan internal dalam diri masing-masing seniman. Karya Ida Bagus Purwa, “Body Movement” mengeksplorasi konsep kebebasan fisikal serta konsep kemerdekaan spiritual. Melalui gestikulasi tubuh, sosok-sosok Ida Bagus Purwa mengungkapkan dualitas senimannya sendiri antara tradisi dan budaya, teriakannya sendiri, ketakutan-ketakutannya, kesedihannya, dan perjuangannya untuk bebas dari segalanya itu. Suatu pola dualitas dan/atau pola kecairan gerak terungkap dalam banyak karya pada pameran ini.

MAD, 200 x 200 cm, Acrylic on canvas, 2012
Dalam karya Dedy Sufriadi bertajuk “MAD”, kita lihat “Dedy Sufriadi”, sebagai seorang seniman, diambil alih oleh alter ego yang lebih liar dan bebas lepas. Ia menampik teks yang mengandung arti, huruf-huruf yang punya bentuk baku, dan bahkan memunculkan huruf-huruf baru yang seperti bersumber dari alfabet mistikal. Tiap lapis dari karyanya bagaikan rekaman dirinya dalam menemukan kesejatian, dengan proyeksi dirinya di jagat senirupa hingga ruang tamu orang banyak -- latar belakang keemasan, teks tercetak yang akhirnya ditindas kembali, menjadi bentuk berupa kilas-kilas kata. Gila, sedih, dan ilusi optik final pun muncul di luar rencana berupa simbol Osiris duduk menyamping. Dedy Sufriadi merupakan satu-satunya perupa yang menampik perlunya seniman punya argumen, menampik keharusan mengatakan sesuatu. Pada intinya, karyanya adalah protes tentang apa yang diharapkan orang darinya.

Unfight, 55 x 75,5 cm, Mixedmedia on paper, 2012
Gerak, 55 x 75,5 cm, Mixedmedia on paper, 2012
Berlawanan dengan hasrat Sufriadi dalam menemukan kebebasan bagi dirinya selaku seniman, Made Budhiana tampaknya adalah satu dari sedikit seniman yang mengungkapkan kebebasan yang secara spiritual sudah ada dalam diri dan karyanya. Pendekatannya pada tema pameran ini lebih pragmatis; tegas menyatakan eksistensinya selaku seniman yang selama ini konsisten melukis abstrak dan tidak pernah dibelak-belokkan ideal pasar.

Ia memandang fokus pameran ini adalah keragaman pilihan seseorang dalam pengalaman kreatifnya. Baginya, ini adalah persambungan dunia spiritual dalam dirinya dan juga persambungan dunia fisikal di sekelilingnya. Dia menyertakan dua karya cat air, “Unfight” dan “Gerak”. Garis-garisnya yang bebas dan warna-warnanya yang penuh gairah dan bertenaga tetap tampil jelas, meski demikian “Unfight” toh menyuarakan pertarungan spektrum warna-warna teduh sehingga ketenangan tetaplah mengatasi unsur menyala-nyala dari wewarna jingga dan kuning. Sebagaimana nampak dalam beberapa lukisan yang dipamerkan, (dalam karya ini) terdapat simbol tangan yang menggapai sebagai ungkapan kedambaan. Dalam “Gerak”, suatu lanskap rona-rona kelabu memunculkan satu sosok sendirian yang bukan tak mirip dengan tukang becaknya Suharmanto dalam “Tuhan Sedang Melihat”. Kedua sosok yang seolah begitu jauh itu menimbulkan kesan kedap waktu atau niskala (timeless) pada konsep pergulatan individu.

Dalam “Tuhan Sedang Melihat”, Suharmanto menyuarakan rakyat jelata. Kiatnya, ia menyajikan citra seorang tukang becak dalam pandangan “mata burung’ (lihatan dari atas). Suharmanto masih memperlihatkan unsur-unsur gaya lukis trademark-nya dengan warna-warna dinamis, yang hiper-realistis dengan kepiawaian permainan pantulan cahaya pada permukaan benda-benda. Kontras dengan kanvas Gusti Alit Cakra yang dipadati banyak sosok sedang bergulat, dan wajah besar yang mengungkapkan heroisme dalam karya Basori, sosok protagonis dalam karya Suharmanto secara fisik lebih kecil tepat berada di tengah-tengah konfigurasi benda-benda.

Tuhan Sedang Melihat, 180 x 150 cm, Acrylic on canvas, 2012
Kelabunya kanvas memberikan suasana dan kesan niskala dan nir-tempat. Si tukang becak bergulat seorang diri dan sering terbatasi oleh benda-benda teramat sederhana yang disimbolkan dengan zebra cross pada bagian kanan gambar. Hampanya kanvas membuat pergulatan keseharian yang hendak ditekankan Suharmanto terasa ngelangut memilukan, dan lihatan mata burung dapatlah ditafsirkan sebagai tatapan yang diresapi empati atau sekadar tatapan oleh pihak yang lebih unggul. Sang seniman memang menyatakan keinginannya untuk menyajikan lihatan yang lebih berpengertian. Betapapun, apresiator yang memandang melalui posisi yang paling kuasa dan tidak secara langsung terlibat dalam lukisan, dapat menentukan pilihannya sendiri.

Sebagaimana Suharmanto, karya Ethel Kings “Fight for The Light” kontras dengan karya Sufriadi dan Budhiana yang lebih bebas (dan lebih dipengaruhi seniman-seniman Barat seperti Jackson Pollok dan Basquiat). Ethel Kings agaknya melukis dengan gaya yang sangat rijid. Berbeda dengan ketiga perupa sebelumnya, perupa perempuan ini tanpa memiliki pendidikan formal seni rupa dan tanpa pengetahuan sejarah senirupa Indonesia. Ia adalah seorang Estonia yang telah bermukim di Indonesia hampir satu setengah tahun lamanya, dan ironisnya karyanya tampak mencerminkan adanya proses akulturasi kendati tanpa sepenuhnya ia sadari -- proses mengadopsi liyan untuk menemukan diri sendiri. 
Fight for The Light, 150 x 130 cm, Oil on canvas, 2012
Ia sendiri pernah mengungkapkan bahwa ada suasana unik Estonia di dalam karya-karyanya, namun ironisnya nuansa-nuansa Indonesia terlanjur menyusup, khususnya teknik sapuan seni rupa tradisional Bali. Aluran warna kuning dan merah melintasi kanvas yang sangat sering muncul pada lukisan adu ayam “tradisional” itu, tangan-tangan dalam tari primitif yang tampak begitu mirip kecak3, serta hidung bengkok yang mengesankan paruh Garuda, tampak sangat bernuansa Indonesia. Ketika memandang, kita beroleh kesan bahwa kedua tokoh tua yang terpiuh itu tak sedang bertarung satu melawan yang lain, melainkan masing-masing berkelahi dengan diri sendiri. Sampai pun garis-garis pada sosok-sosok itu seperti menirukan teknik sapuan yang membentuk gradasi dari gelap ke terang dalam “megamendung”4 atau lukisan di atas lontar yang ditoreh dengan bambu yang dibakar. Padahal Ethel tak pernah mempelajari batik Cirebon maupun seni rupa Bali. Budaya dapat dicerap melalui kulit dan mengubah DNA kita. Dedy Sufriadi dan Ethel Kings mencerminkan perubahan; sementara Timur memberi si seniman Barat kebebasan pengungkapan diri, Barat membalasnya dengan memberikan kebebasan pula kepada seniman-seniman Timur yang tinggal dan berkarya di Jogja.

Demikian halnya suatu arus kesadaran melintasi budaya-budaya, diri yang tak tunggal dan tak utuh, waktu dan ruang, tarian melintasi bidang kanvas dalam “Auver Someday, Somebody, Vincent and Me” karya Zam Kamil. Zam Kamil adalah seorang seniman berasal dari Makassar yang berdomisili di Jogja. Ia dicekam oleh dua mitologi yang kontras, yakni mitologi seputar Vincent Van Gogh dan mitologi I La Galigo. Demikianlah, kehidupan Van Gogh yang sengsara sebagai seniman dikawinkan dengan puisi epik I La Galigo dari Sulawesi. Budaya Sulawesi memilahkan manusia ke dalam empat jender, yakni laki-laki, perempuan, wujud perempuan berjiwa laki-laki, dan wujud laki-laki berjiwa perempuan. Diri-yang-tak-tunggal-utuh yang memperjuangkan eksistensi barangkali nampak dalam tiga sosok penari primordial yang melayah di atas Auver (sebuah kota di Prancis Selatan, ed), meliuk dan saling belit selagi bangkit, nirwajah sehingga mewakili setiap manusia, kompak serasi satu dengan yang lain, sama namun juga berbeda. Dikotomi antara dua negeri dan dua masa serta antara laki-laki dan perempuan hadir dalam tubuh-tubuh para penari -- kaki balerina Barat yang berjinjit meruncing, tangan-tangan primitif yang terulur dan terentang seperti yang menempel pada gua-gua Lascaux sebagai penghalau hantu, tangan yang meraih dan mempersembahkan. Tarian sebagaimana nampak pada lukisan tersebut memberikan ungkapan untuk apa-apa yang tak cukup terpahamkan melalui kata-kata mistikal pada teks dari Sulawesi itu yang terguris melintasi langit membentuk formasi di awan-awan.

Auver Someday, Somebody, Vincent and Me, 200 x 300 cm, Oil on canvas, 2012
Mitos Sisifus dan perjuangan kekalnya mendorong bongkah batu ke puncak bukit hanya untuk menggelindingkannya turun kembali; absurditas kehidupan yang penuh dengan beban masalah; dan bahtera yang mengangkut harapan dan impian peradaban atau sekadar sampan pengangkut jenazah; karya Budi 'Bodhonk' Prakoso bertajuk “Melewati Batas-batas” merupakan karya yang sarat simbolisme atas pergulatan rakyat jelata. Rakyat jelata dalam karya Budi 'Bodhonk' Prakoso ini mengambang menempuh kelabunya kehidupan mereka, terkungkung, berjuang menggapai impian-impian. Jiwa si seniman terguratkan pada tubuh seorang tokoh yang tidak tersapu ke laut impian melainkan justru mengangkat sampannya. Sejarah dan perasaannya tertulis dan termaktub di dagingnya sendiri. Peradaban-peradaban terbangun atas hasrat akan perubahan serta harapan akan rumah kediaman yang aman; namun nyatanya dalam proses tersebut, seperti sejarah piramid-piramid besar nan hebat itu, ratusan bahkan ribuan budak rontok menemui ajal tanpa pernah mencapai jenjang terbawah harapan mereka.

Melewati Batas-batas, 150 x 200 cm, Acrylic on canvas, 2012

Karya Acil bertajuk “Single Fighter” juga merupakan personifikasi atas pergulatan dan menyuarakan “rakyat jelata” dalam wujud patung petani dengan pose setengah terjatuh, yang berjuang untuk berdiri dengan tubuh terpiuh. Patung ini terbikin dari kertas koran dan menggunakan teks dan gambar temuan untuk menciptakan tekstur. Gambar-gambar dan teks itu diambil dari artikel-artikel yang memang pernah ia baca dan sebagai sumber inspirasi untuk membuat karya patung “Single Fighter” ini.
Single Fighter (model to aluminium)
70 x 60 x 85 cm, Newsprint, 2011
Karya ini melambangkan kekuasaan rakyat yang mana hanya separuh kekuatan di tubuhnya, cangkul yang terangkat dan jemari kaki kanan menancap dalam-dalam ke tanah demi menjaga keseimbangan. Sedangkan separuh yang lain dari tubuh itu, dengan perisai (berbentuk atap gedung, ed) DPR yang hampir terjatuh, lengan kanan bagian atas yang lemah dan kaki kiri yang kurang mantap, mewakili lemahnya DPR dalam menunjang aspirasi rakyat. Ada tanda-tanda bekas pertarungan, seperti misalnya barut-barut seperti cakaran di dada. Sebagaimana petani itu, si seniman hanya bisa mengandalkan diri sendiri dan bukan pemerintahnya. Karya kedua Acil, “I am Single (Fighter) And Very Happy” dengan perupa terkenal, AT Sitompul, sebagai model, juga berefleksi mengenai kemampuan sang seniman bertahan hidup dengan berbagai cara mulai dari menangani kerja komersil sablon dan membuat karya-karya pesanan agar dapat terus berkarya.

Instalasi dan video art Daniel Rudi Haryanto “Marline and The Blue Channel” menyuarakan pergulatan TKW single yang kisahnya tak jauh beda dengan banyak TKW lain yang lebih memilih bekerja di luar negeri agar terlepas dari siklus kemiskinan, yang mana mereka sering mengalami perlakuan buruk dari sang majikan di negeri tempat mereka bekerja, pun tidak mendapat dukungan dari pemerintah mereka sendiri. Ia memadukan pengalaman sinematis dan pengalaman seni rupa sebagai strategi, meletakkan unsur-unsur rumah keluarga Indonesia yang tipikal bersama simbol-simbol TKW.
Marline and The Blue Channel, 100 x 120 x 20 cm, Multimedia: wood,
audio visual, 2012
Ia juga memainkan bahasa dan simbolisme -- biru menjadi wakilan duka yang mencekam sekaligus jalur (channel) laut yang ditempuh TKW demi memutus daur kemiskinan mereka. Kata “channel” dapat mengacu pada televisi dan impian-impian yang digelontorkannya kepada orang kecil, wong cilik. Paspor menyimbolkan TKW sedangkan KTP mengacu pada tempat asal, sementara uang receh mewakili penghasilan yang tak sepadan dengan penderitaan atau beban kerja seorang TKW. Di dalam rumah terdapat simbol-simbol lain dan kita menjadi paham bahwa jerih payah mereka bekerja di negeri orang agaknya hanya membuahkan hasil yang remeh saja. Sebagai imbalan duka lara yang dialami, perolehan finansialnya hanyalah uang receh yang cukup disimpan di dalam celengan.

Fighting Series #3, 100 x 125 cm, Burning technique and oil on canvas, 2012
Untung Yuli Prastiawan yang lebih dikenal sebagai Wawan Geni dalam karyanya “Fighting Series #3” menyajikan sosok-sosok berkelindan yang membubung di atas (kepulauan) Indonesia dan nampak sebagai pertarungan atau tarian, hampir bertumburan. Dalam hal isi, karyanya jelas-jelas kontemporer namun tekniknya jelas berbasis tradisi. Mirip cara membuat gambar pada lembar daun lontar, yakni mengguriskan garis-garis yang membentuk citra dengan teknik bakar, Wawan Geni menggunakan obat nyamuk bakar dan rokok untuk menoreh bagian-bagian citra yang perlu diberi penguatan. Inilah contoh tentang tradisi yang meremajakan dan memperbarui diri meski sebatas pada teknik. Teknik ini ditemukan ketika Wawan tidak punya cukup uang untuk beli cat, dan seperti Budhiana pada masa mudanya, ia berpandangan bahwa dunia bukannya dibatasi oleh kurangnya uang melainkan kurangnya imajinasi. Hingga hari ini Wawan Geni tekun mengeksplorasi potensi teknik ini tanpa peduli apa yang menjadi permintaan pasar.

Nginang Karo Ngilo, 180 x 150 cm, Mixedmedia
on canvas, 2012
Ivan Yulianto dalam karyanya “Nginang Karo Ngilo”5 mengeksplorasi gagasan mengenai hilangnya jati diri seniman ketika berharap mendapatkan puja-puji dari para pemain pasar. Si seniman memang tetap eksis namun terkadang sang pemain pasar seolah lebih penting ketimbang proses mencipta itu sendiri. Ivan berefleksi mengenai hasrat perupa untuk mendapatkan pujian dari orang-orang tertentu di Indonesia sebagai pembenaran untuk apa yang dikerjakan si seniman dan sebagai batu pijakan meraih sukses finansial. Kenyataan getir bagi sebagian besar perupa ketika mereka gagal meyakinkan kurator atau art dealer untuk mau berkunjung ke studio atau pameran mereka, yang mana hal sepele seperti itu dianggap cukup sebagai indikator dalam menentukan gagal atau suksesnya seorang seniman di jagat seni rupa. Kekuasaan kurator dan kolektor untuk menilai bagus suatu karya acapkali sungguh memprihatinkan. Berulang kali kita saksikan karya seni yang ditolak pada suatu kurun sejarah, namun kemudian dipuji-puji pada kurun yang lain 6. Seniman selalu bergulat dengan integritas dan kebutuhannya sendiri, terutama ketika berhadapan dengan harapan untuk dapat diterima oleh kurator, kolektor, atau art dealer. Lengan Ivan (dalam lukisannya, ed) tampak, dan kita dapat peroleh kesan bahwa ini merupakan potret dirinya melalui mata orang lain. Ivan mengeksplorasi gagasan sukses sebagai pisau bermata dua, dan memang dalam kenyataannya kemerdekaan secara finansial menjadikan seseorang tak kuatir kehilangan apa-apa.

Rocka Radipa bermain-main dengan dua wajah, dua sisi dari satu pisau, dua makna dari satu kata dalam karyanya bertajuk “Backsword Eternal”. Pisau hias yang mirip gancu ini pada hakekatnya tak ada gunanya namun tetap memiliki potensi bahaya. Pisau ini berhiaskan “pamor” yang ditatahkan pada badan keris7 yang terkadang memberinya daya mistikal. Kata pamor juga dapat berarti pendar cahaya atau gengsi, prestise. Kata “perang” (war) terpantul sebagai “damai” (peace), namun pertanyaannya: apakah damai dijaga sehingga tak akan ada lagi perang, atau apakah perang dikobarkan melawan kejahatan dalam upaya mencari damai?

Backsword Eternal, 250 x 80 cm, Brass etching mixedmedia, 2012
Karya Gusti Alit Cakra “Potret Negeri Hiruk Pikuk”8 menyajikan lanskap gersang tandus, kelindan mobil-mobil yang bergerak namun tidak sungguh-sungguh maju di bentang kanvas yang memampangkan tanah lekang kerontang. Peningkatan kelas menengah baru secara drastis dapat kita saksikan di tengah kota-kota besar Indonesia, laju pertumbuhan “kemajuan” dilambangkan dengan mobil-mobil padahal prasarananya tidak tersedia, awut-awutan, mencipta kemacetan lalu lintas, dan tidak saja melanda nilai-nilai spiritual dan tradisional melainkan secara fisikal juga menerjangi cara hidup tradisional. Topeng setiap orang adalah mobil dan harta. Orang-orang kehilangan kemanusiaannya. Tiap mobil bertarung menggapai cahaya. Tiap mobil berwarna putih redam bagai hantu, dan celah antarmobil seolah mengingatkan akan potensi terjadinya retakan dalam kejiwaan rakyat, dan kenyataan akan bagian bumi yang secara fisikal berkemungkinan melampiaskan kesumatnya lewat gempa. Setiap orang berjuang, bergulat, mereka sama sekali tak menyadari bahwa jumlah besar mereka mampu memicu kekacauan dan kehancuran, atau sebaliknya, kekuatan menghasilkan kerja untuk menuju kebaikan dan perbaikan.

Potret Negeri Hiruk Pikuk, 250 x 180 cm, Mixedmedia on canvas, 2012

Nasirun, perupa yang boleh dikata tak perlu diperkenalkan lagi, telah mencapai apa yang tak pernah diraih oleh Van Gogh sepanjang masa hidupnya, yakni kedudukan penting dalam jagat seni rupa Indonesia maupun internasional serta kemantapan finansial. Kendati begitu, ia tak pernah lupa akan akarnya, dan dalam proses berkarya ia gali dalam-dalam sejarah kultural serta asal-usul keluarganya. Ia mengolah ingatan dan kenangan akan ibundanya serta jagat tradisi Jawa yang maha kaya, dan mengkaji wayang atau mistik Jawa melalui kartu ramalan dan falsafah. “Imaji Dasa Muka”, sebuah karya lama tetapi belum pernah dipamerkan, mengeksplorasi cerita tentang Dasa Muka, tokoh dengan sepuluh kepala atau wajah itu. Ia hendak menyindir politik modern lewat metafor, dengan memasang sepatu bot jenderal angkatan darat di kaki kiri si tokoh, serta memantik renungan betapa kita dapat memetik pelajaran dari masa silam untuk menempuh kehidupan hari ini.

Imaji Dasa Muka, 145 x 89,5 cm
Oil on canvas, 2009
Sebagaimana pada banyak tradisi, bahkan termasuk tradisi jender ketiga dan keempat dalam I La Galigo, tokoh sentralnya sebagian terbesar adalah laki-laki dan perempuan. Dualitas tubuh adalah dualitas tubuh dan dualitas nafsu, nafsu-nafsu yang seringkali ditekan ketika seseorang menjadi tokoh publik (public figure). Banyak politisi mengenakan sepuluh wajah dan meski ada senyum tersungging di wajah-wajah itu, rona-rona manis atau jambon dan ungu dalam berbagai nuansa, Nasirun seperti hendak memperingatkan pemandang bahwa segala sesuatu tidak seperti kelihatannya.

“Ideologi”, patung karya Tri Suharyanto, mengungkapkan hasratnya untuk bicara tentang Indonesia hari ini. Namun Tri sudah terjerumus ke dalam dogma patriotisme yang mana sebenarnya ia berhasrat untuk berbicara dengan penuh semangat mengenai daya kekuatan yang dimiliki Pancasila. Ironisnya, patung ini seperti berbicara tentang sesuatu yang pada intinya sudah terlanjur menempel di jiwa si seniman. Berbeda dengan karya Nasirun dan Acil, yang menampilkan tubuh yang jelas-jelas tubuh Asia, tubuh dalam karya Tri adalah tubuh binaragawan, sebuah obsesi terhadap kesempurnaan yang memang tampak bagus namun tidak fungsional -- obsesi akan kesempurnaan sosok manusia ini pula yang memiliki andil ikut membentuk gagasan tentang Arya sebagai ras unggul namun akhirnya membawa pada nasionalisme ekstrem yang bermuara kepada Holocaust. Tubuh itu, dengan lengan terentang bagai sepasang sayap garuda di Monumen Pancasila Sakti, siap mengepak terbang dan menyerang. Agresi pada lengan dan tangan itu terlihat statis, berbeda dengan kesan gerakan berkesinambungan yang muncul pada patung-patung Acil. Karya ini bicara mengenai perubahan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia berhadapan dengan globalisme dan perasaan tak aman orang Indonesia. Tubuh ini tidak memproyeksikan citra serta kekuatan tubuh Indonesia; alih-alih tubuh dengan daya kekuatan yang dangkal atau semu. Karya Tri ini justru menantang pemandang menampik citra yang semula ingin diproyeksikan, yakni untuk menggugah kembali nilai-nilai sejati Pancasila.

Ideologi, 186 x 146 x 46 cm, Resin polyester, duco color, mixedmedia, 2012
Karya terbaru Moch Basori, “Podojoyonyo”, sebagaimana karya Nasirun, bertumpu pada folklore tradisional. Wajah sang hero yang merentang lebar juga mengesankan perentangan daya kekuatannya seperti dalam simbol garuda pada karya patung Tri. Sapuan kuas yang menebas kuat-kuat seperti menyayat wajah sehingga sang protagonis terkesan baru saja keluar dari arena pertempuran. Senyuman bermakna ganda dari seseorang yang memandang dirinya pahlawan kendati justru dialah penyebab kebalauan oleh karena kepemimpinannya yang buruk 9. Perentangan wajah dari ujung ke ujung kanvas dan warna-warna cerah, jiwa petarung yang dapat ditangkap dari mata sang protagonis, kontras dengan protagonis milik Tri. Keduanya sama-sama legenda. Yang satu sebagai hero mitos folklore Jawa dan yang lain (kedua pihak yakni seniman dan pemain seni) hero dalam jagat seni rupa Indonesia yang bergerak menuju folklore. Yang mencolok ialah cerita Tri mengenai kekuatan Indonesia di masa silam dan cerita Basori tentang tokoh heroik mistis ini mencerminkan nasionalisme, namun ironisnya kedua perupa ini tidak menyalurkan heroisme tersebut ke dalam tubuh-tubuh Indonesia yang tipikal.

Podojoyonyo, 150 x 200 cm, Mixedmedia on canvas, 2012

Kontras dengan simbol perfeksionisme yang bombastis dalam karya Tri, sosok heroisme Basori, serta narasi yang cenderung telanjang dari Ivan, karya Dyan Anggraini “Still Surviving” memperlihatkan kekuatan tubuh Asia -- postur yang bangga nan indah, lengan dan tangan yang anggun namun terlihat perkasa. Tokoh dalam karya Anggraini ini diam namun tidak kejang kaku, sikap rileks yang memancarkan daya. Sebagaimana Nasirun, ia mengandalkan unsur-unsur tradisi berupa topeng (kedok).
Still Surviving, 150 x 150 cm, Oil on canvas, 2012
Dalam tradisi-tradisi di seluruh dunia, topeng merupakan sesuatu yang bersifat mistikal dan transformasional. Acap topeng dipergunakan untuk menyamarkan kenyataan namun juga tak jarang topeng memberdayakan pemakainya untuk mengungkapkan kebenaran tanpa harus menanggung konsekuensi dari penguasa. Topeng dalam karya lukis Anggraini ini berfungsi sebagai pelindung -- kita tak dapat langsung mendalami jiwa sang protagonis melalui matanya namun tubuh dan bibirnya mengungkapkan sikap perlawanan dan pembangkangan. Ia menampik kompromi dan menolak menyembunyikan watak sejatinya di balik kedok nilai-nilai sopan santun masyarakat. Protagonis ini nampaknya ingin menyatakan bahwa dia emoh turun panggung, dia berpantang meninggalkan gelanggang, sebab ia belum kalah. Jago-jago masih terus bertarung....

Jadi dapatlah dikatakan bahwa protagonis dalam karya Dyan Anggraini ini mencerminkan jiwa dan semangat para perupa yang berpameran, yang memegang teguh prinsip, dan melawan tanpa peduli apa kata para pemain pasar seni rupa Indonesia. Dalam teks berbahasa Sulawesi yang termaktub di lukisan Zam Kamil: sellu’ka riale kabo, fusa, nawa-nawa, naiyya ati, mallolongeng (aku tersesat dalam rimba belantara, pikiranku hilang namun hatiku menemukan). Seniman menemukan diri dalam perlawanan dan pembangkangan mereka. Tak peduli kesulitan individual yang mereka hadapi -- perjuangan finansial, medan perang artistik, muslihat dan pengkhianatan serta dakwaan -- jago-jago masih terus bertarung.


Bandung, May 2012
Kerensa Johnston

Footnote:
1 Hal. 13 Denvir B., The Chronicle of Impressionism, Theames and Hudson, 2000, London.
2 Denvir, B.,The Chronicle of Impressionism, Theames and Hudson, 2000, London.
3 Kecak adalah tarian kera dari Bali, di situ kor laki-laki sering mengcapkan ‘cak cak cak’ dengan tangan teracung ke atas.
4 Megamendung adalah motif mega/awan dalam batik Jawa Barat.
5 “Looking at mirror, whilst chewing tobacco”, terjemahan bahasa Inggrisnya.
6 Hal.. 190 Suardika I.W. Crossing the Horison, Matamera Books 2010, Denpasar.
7 Keris banyak yang diwariskan dalam keluarga, dan konon mempunyai daya mistikal.
8 “Portrait of Noisy Land”, terjemahan bahasa Inggrisnya.
9 Ini cerita rakyat tentang seorang Raja yang memberikan perintah kepada seorang pengikutnya untuk melarang siapapun selain dirinya merawat keris Raja, dan agar keris jangan diserahkan pada siapapun selain Raja. Tapi Raja kemudian menitahkan pengikutnya yang lain untuk pergi dan meminta keris itu. Maka kedua pengikut ini berlaga dengan penuh semangat karena yang satu hendak memenuhi janji kepada sang Raja dan yang lain karena hendak mematuhi perintah. Cerita ini juga melambangkan awal mula aksara Jawa. Arti frasa bahasa Jawa itu: ‘Sama-sama kuat, sama-sama jaya’.

No comments:

Post a Comment