Monday, July 1, 2013

Visual Art Exhibition: THE MYTH IS IN OUR POCKET


“Kita hidup bukan diantara benda-benda melainkan dari opini-opini yang sudah diyakini“ 
-- Roland Barthes

DALAM PERSPEKTIF budaya primitif, mitos atau mite (myth) adalah prosa rakyat (tuturan oral) untuk menandai sesuatu yang sakral atau suci dan identik dengan masa lalu atau bentukan sejarah yang bersifat statis dan kekal seperti misalnya kisah terjadinya alam semesta atau turunnya manusia pertama ke bumi, terjadinya susunan para dewa, bentuk topografi, makanan pokok, petualangan para dewa dan kisah-kisah percintaan mereka.

Jaka Tarub in My Mind (The Legend of Jaka
Tarub Series)Oil on canvas, 100 x 145 x 10 cm,
2012
Membaca mitos dalam suatu kebudayaan tertentu berarti membaca perikehidupan esensial sebuah masyarakat. Mitos menjadi unik dan menarik ketika dipandang dari sudut pandang filosofis-sosiologis masyarakat, sebab ia secara sederhana dapat menggambarkan sisi perilaku manusia di daerah tertentu; yang lahir dari kesadaran naluriah untuk menjangkau persoalan-persoalan di luar nalar dan indrawi. C.A. van Peursen berpendapat mitos adalah cerita yang memberikan arahan dan pedoman tertentu kepada suatu masyarakat.

Dalam konteks budaya masyarakat Indonesia yang memiliki akar spiritual animisme dan dinamisme, mitos dengan leluasa bersarang di dalam cerita-cerita rakyat (folklore), legenda, fabel, dongeng, dan sebagainya. Di mana folklore masyarakat Indonesia banyak dipengaruhi oleh kondisi geografis; dibentuk dari kehidupan agraris yang sangat bergantung kepada situasi alam, kesuburan tanah, cuaca, musim, hewan dan tumbuhan.

Anthem & Brand, Brass etching mixed media, 115 X 97 cm, 2012
Coba saja kita simak kisah Jaka Tarub yang digubah Syis Paindow ke dalam karya versi potret dirinya bertajuk ‘Jaka Tarub in My Mind (The Legend of Jaka Tarub Series)’. Singkat cerita folklore masyarakat Jawa Tengah ini mengisahkan seorang pemuda bernama Jaka Tarub yang berhasil menikahi seorang bidadari bernama Dewi Nawangwulan. Selama hidup berumah tangga rupanya sang Dewi memanfaatkan kesaktiannya. Sebutir beras yang dimasaknya menjadi sebakul nasi. Jaka Tarub melanggar larangan Nawangwulan supaya tidak membuka tutup penanak nasi. Akibatnya kesaktian Nawangwulan hilang. Sejak saat itu ia menanak nasi seperti umumnya perempuan biasa. Beras (nasi) adalah sesuatu yang relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat agraris.

After Text Series, Black White, Acrylic on canvas,  150 X 200 cm, 2010
Memasuki kajian semiotika, mitos menjadi type of speech (sisi lain dari bahasa) atau sistem komunikasi berupa ‘pesan’ (message) yang kemudian diadopsi menjadi nilai-nilai. Roland Barthes mengemukakan bahwa dalam perspektif budaya modern, tuturan mitologis tidak saja berbentuk tuturan oral, apa saja bisa dikatakan sebagai mitos selama diutarakan dalam bentuk uraian wacana atau diskursus. Dalam hal ini teknologi dan media memegang peranan penting. Rocka Radipa dalam karyanya ‘Anthem & Brand’ menohok dampak psikis teknologi yang ia visualkan melalui sebentuk ipod. Benda berukuran kecil yang akrab dengan kalangan remaja ini cukup efektif memanipulasi panca indera bahkan pikiran pendengarnya. Makin sering ia diputar ulang, makin kuat pengaruhnya. Senada dengan itu, ‘After Text Series, Black White‘ satu dari tiga buah karya seri ‘hitam putih’ Dedy Sufriadi dengan kolase kertas surat kabar, seperti hendak menabrakkan antara yang tersurat dengan yang tersirat. Di mana beragam berita-

Banyak Anak Banyak Rejeki, Acrylic on canvas,
70 X 100 cm, 2013
di media tidak mungkin kita pahami semata ‘hitam dan putih’ saja. Sebagaimana para penganut semiotika menegaskan bahwa di balik bahasa media seringkali terkandung ‘sesuatu’ yang misterius.

Media dan teknologi sebagai anasir utama penopang era industri-informasi. Kantong-kantong tata ekonomi baru (baca: kota-metropolitan) secara alamiah sukses mereproduksi mitos-mitos budaya kontemporernya sendiri; baliho-baliho, parfum, anggur, internet, fashion, film, artikel, dsb. Namun di tengah gemerlapnya kota ternyata terkandung paradoksal. Tomy Faisal Alim yang tinggal dan beraktivitas di kota Jakarta dalam karyanya bertajuk ‘Banyak Anak Banyak Rejeki’ jelas-jelas memotret realitas masyarakat perkotaan yang dianggap (atau menganggap dirinya) rasional, namun di sisi yang lain masih terjebak pekatnya kabut irasionalitas. Teknologi dan media ternyata tak kunjung menggerus lumut irasionalitas. Hilangnya sebuah generasi, menjadi pertanda munculnya generasi pengganti. Namun tidak demikian dengan mitos. Ia mengarungi waktu. Lihat saja karya Zam Kamil bertajuk ‘Waktu Terus Berlari’ yang dilukiskan dengan sesosok figur perempuan melesat di udara hitam.

Waktu Terus Berlari, Oil on canvas, 130 x 130 cm, 2010
Zam Kamil seolah hendak mengingatkan keberadaan mitos sungguh tak berjarak dengan kehidupan manusia – yang ia gambarkan dengan menuliskan nama-nama seniman dunia di dalam bidang kanvasnya. Betapa dalamnya uraian narasi yang harus kita gali dari memori di kepala kita ketika misalnya nama-nama seperti Vincent van Gogh, atau Pablo Picasso, Claude Monet, Andre Derain, Henry Matisse, Auguste Rodin, Georges Braque, atau Paul Cezanne muncul dibenak kita? Bukankah nama-nama itu adalah nama-nama yang ‘sudah terlanjur’ menjadi mitos? Di bidang kanvas yang sama Zam menorehkan nama salah satu putrinya. Seolah ia ingin berkata: “Rogohlah saku kemeja atau celana, dan mitos Anda jumpai di sana!”


Dedi Yuniarto
(Jago Tarung Yogyakarta)

No comments:

Post a Comment