Friday, November 25, 2011

CERMIN UNTUK TANAH JAWA

Koran Tempo, Senin, 1 November 2010


RAMAH TAMAH TANAH JAWA, 2010

Sosok manusia berjas dan berdasi itu menunduk takzim. Tangan kirinya merentang lebar, sedangkan telapak tangan kanan menempel di dada. Di depannya pohon menunduk. Pohon dan manusia itu terkesan saling memberi hormat. Tapi kepala manusia itu berupa sekop yang siap mengeruk apapun di depannya.

BEGITULAH cara Nurul Hayat alias Acil menggambarkan situasi masyarakat Jawa lewat karya tiga dimensi, dari bahan kertas koran berjudul 'Ramah Tamah Tanah Jawa' pada pameran bertajuk 'Tanah Jawa' di Taman Budaya Yogyakarta, 27-31 Oktober 2010. Acil sedang mempertanyakan keramahtamahan manusia Jawa, dan pendatang memanfaatkan sifat manusia Jawa yang ramah. "Apakah keramahan orang Jawa itu kekuatan atau justru kelemahan?", ujar Acil.

Pameran yang diprakarsai kelompok Arts Liberation Front ini diikuti 38 perupa etnis Jawa yang menghadirkan 78 karya, 13 di antaranya karya tiga dimensi. "Harapan mereka, orang dari luar (bukan etnis Jawa) mungkin bisa melihat budaya Jawa dengan mata yang berbeda," tulis Anton Larenz, dalam konsep kuratorial.

Sebagian besar karya sudah melewati masalah teknis. Tapi masalah muncul pada tema Jawa yang menjebak perupa pada idiom klise Jawa, seperti citraan wayang, perempuan berkemben, teks aksara Jawa, hingga pakaian Jawa. Bahkan pelukis Djoko Pekik memaksakan diri mengusung karya lawasnya berjudul 'Detik-detik Jam 00 Tahun 2000', yang menggambarkan kerumunan massa di depan Pagelaran Keraton Yogyakarta.

Tapi Acil dan sejumlah perupa membebaskan diri dari idiom klise Jawa. Misalnya, karya Tri Suharyanto, berupa karya patung berjudul 'Imagine'. Karya berbahan resin ini berupa citraan buku bertuliskan 'Nusantara' yang menopang belasan citraan tangan hijau yang saling berjabat. "Saya membayangkan, alangkah indahnya jika masyarakat Jawa saling bergandengan tangan, saling memberi dan menerima," katanya.

Atau juga karya patung Priyaris Munandar berjudul 'Berburu Tangga Surga'. Karya ini berupa tiang kayu bercat merah dengan lima sekop bertuliskan lima agama besar: Buddha, Hindu, Katholik, Kristen dan Islam. Menurut dia, tiap agama mengajarkan kebaikan dan menjanjikan surga. Tapi, katanya, yang terpenting bagaimana manusia bisa menikmati surga di bumi. "Caranya, menjaga keseimbangan energi bumi dan langit," ujar Priyaris. (HERU CN/RFX)

No comments:

Post a Comment