Harian Bernas, Minggu Kliwon, 20 Februari 1994
THE WILD THING, 1994 (Dr. Oei Hong Djien's collection) |
Empat pelukis lainnya yang menonjol yang saya catat adalah Yani Halim, Moch Basori, Multazam Kamil dan Temmy Setiawan. Karya Yani, ('Love, Devil and Wild Bords' dan 'Ridiculous Love Stories') karya Basori ('Dari Balik Jendela Sunyi') karya Multazam ('The Wild Thing') adalah karya-karya yang kuat bahasa ungkapnya maupun muatan isinya. Mereka membungkus gagasan dengan 'bahasa rupa' yang dikuasai dengan meyakinkan.
SENI RUPA, khususnya seni lukis di Yogyakarta ini memiliki sejarah serta perjalanan kreatif yang istimewa. Barangkali hal ini cukup erat hubungannya dengan situasi dan kondisi Yogyakarta yang tak dapat diingkari adalah sebuah kota yang menyimpan dinamika dan magma kesenian yang istimewa pula. Kesenian di kota ini tak habis-habisnya diciptakan oleh para seniman, nyaris tak pernah kekeringan gagasan. Kreasi dan kreativitas senantiasa beriringan, meluncurkan letupan-letupan baru yang sering menggairahkan. Seni rupa (sekali lagi, khususnya seni lukis) adalah salah satu media ekspresi yang penuh letupan bahkan ledakan yang dilakukan oleh para pelukis Yogyakarta dari waktu ke waktu. Sekalipun tak dapat dilupakan gerakan-gerakan pemberontakan dalam dunia seni rupa yang lebih luas embrionya dan kemudian juga aktivitas gerakannya juga terjadi di Yogyakarta.
Memasuki bulan kedua tahun 1994 ini, beberapa pelukis (muda) Yogyakarta membuat suatu gerakan, sekalipun cukup konservatif namun memiliki arti yang menarik, khususnya bagi peta seni lukis Yogyakarta (Indonesia). Pertama adalah pemeran Pelukis Muda Yogyakarta (Januari '94 lalu) yang tidak begitu menarik dan tampak lemah dalam proses kurasinya. Dan yang kedua adalah pameran lukisan (kelompok) Spirit '90 (5-10 Februari 1994), keduanya berlangsung di Purna Budaya Yogyakarta.
Pameran yang diselenggarakan oleh para mahasiswa Seni Lukis Fakultas Seni Rupa (FSR) ISI Yogyakarta angkatan tahun 1990, terdiri dari 24 orang yang tergabung dalam nama (wadah) Spirit '90 tersebut menarik dan pantas dicatat.
Pertama, di tengah arus persaingan antarindividu yang terus berpacu dengan ketat, di tengah semakin terkikisnya semangat kelompok, mereka justru hadir dengan semangat kelompok yang penuh percaya diri, solid dan tertib. Mereka bekerja keras dan serius dalam menyiapkan karya-karya maupun dalam persiapan pameran. Kita tahu, kerja kelompok terlebih bagi para seniman yang cenderung egoistik-tidaklah mudah mengkoordinasikannya. Namun tampaknya semangat dan romantisme angkatan merupakan faktor yang cukup menguntungkan mereka untuk menyelenggarakan kegiatan. Hal ini jika dapat mereka pertahankan tidak saja aktivitas menjadi 'kekuatan' kelompok yang menarik, tidak saja aktivitas pameran-pamerannya, melainkan juga (mudah-mudahan) pemikiran-pemikirannya. Sebagai pelukis yang masih muda usianya mereka memiliki kesempatan cukup panjang untuk melengkapi diri dengan pemikiran, mengolah serta mengeksplorasi kreativitas serta keinginan untuk tampil beda di masa-masa mendatang.
Kedua, karya-karya yang mereka sajikan rata-rata tampak menunjukkan kelasnya lebih tinggi, jika dilihat dari usia angkatan (pendidikan) yang mereka tempuh. Sebagian besar dari mereka menunjukkan totalitas yang cukup menggembirakan. Satu hal yang saya catat dengan menarik adalah bahwa mereka menawarkan satu ekspresi kata hati yang total-leluasa-penuh keyakinan, potensial dan ternyata mendapatkan tempat (lagi) di tengah penikmat seni lukis.
Ekspresi kata hati yang saya maksud adalah munculnya kembali ekspresi yang total, cenderung abstrak dan jauh dari kesan menata-nata format atau bentuk serta elemen-elemen dasar lainnya. Karena selama ini kesan menata-nata itulah-dan karenanya sebuah karya menjadi kehilangan ekspresi dan misterinya-yang nyaris selalu kita temui dalam setiap peristiwa pameran.
Pada mereka terlihat kecenderungan ekspresi yang mengabstraksikan realitas maupun yang merealitaskan abstraksi sesuai dengan kata hatinya. Lihatlah misalnya karya I Nyoman Sukari ('Bali Action' dan 'Bali Night') yang mengolah nafas bentuk-bentuk seni tradisi Bali dengan cara ungkap modern. Sapuan kwas (brushtroke) yang ekspresif, cat basah yang dibiarkan meleleh di sana-sini, pilihan warna-warna berat serta permainan bidang yang acak, adalah bobot visual dari karya tersebut. Hal senada juga dapat dilihat pada karya Ida Wayan Bagus Krishna Santi Baskara ('Berkelana Dalam Gejolak Putih' atau 'Bersimpang Dalam Senandung Putih') yang menawarkan absurditas mimpi-mimpi dalam idiom Bali.
Kemudian karya Rudy Pariasa, I Made Wiradana, I Wayan Sunadi, atau I Ketut Tenang, menunjukkan spirit Bali yang 'hanya' mengolah ornamen-ornamen Bali dan lebih sederhana. Herman Susila dan Burhanuddin menawarkan fantasi dengan nafas surealistik. Sedangkan permainan cat air Tommy Faisal Alim bisa diharap untuk meloncat lebih dari sekadar permainan teknis.
Empat pelukis lainnya yang menonjol yang saya catat adalah Yani Halim, Moch Basori, Multazam Kamil dan Temmy Setiawan. Karya Yani, ('Love, Devil and Wild Bords' dan 'Ridiculous Love Stories') karya Basori ('Dari Balik Jendela Sunyi') karya Multazam ('The Wild Thing') adalah karya-karya yang kuat bahasa ungkapnya maupun muatan isinya. Mereka membungkus gagasan dengan 'bahasa rupa' yang dikuasai dengan meyakinkan.
Tawaran rupa yang paling berbeda adalah karya Temmy Setiawan. Ia tampak memiliki semangat menjelajah, semangat melakukan eksplorasi material untuk menampung gagasan-gagasannya. Lihatlah karyanya yang terkuat, 'Penghasilan yang Tak Seisi Perut' dengan bingkai lembaran-lembaran kayu yang masih asli, menjadi elemen yang kuat dan menyatu. Atau karyanya yang lain, 'Di Pintu Ku Menghadap, di Pintu Ku Berharap' yang menggunakan selembar daun pintu utuh sebagai 'kanvas' lukisannya. Eksplorasi yang meyakinkan dan tentu bisa diharap untuk memperkaya ungkapan rupa seni lukis Indonesia.
Spirit '90 adalah kelompok pelukis muda dan sekaligus potensi seni lukis yang dimiliki Yogyakarta. Mereka telah menyatakan diri tampil sebagai upaya meraih jatidirinya yang sejati kelak. Pameran adalah batu loncatan dan batu ujian mereka; akan bertahan dan terus menggenggam erat profesi sebagai pelukis yang penuh tantangan, atau kemudian mengundurkan diri dari gelanggang kompetisi yang sengit. Kompetisi meraih jatidiri, bukan yang di luar itu.
Jika mereka atau tepatnya di antara mereka ada yang kemudian terperangkap ke dalam 'urusan-urusan di luar kesenimanan', merasa cepat puas, dengan mudah ia akan segera terpelanting ke luar dari predikat seniman (perupa) yang memiliki jatidiri sejati.
Pergulatan kesenian memang rumit dan penuh tantangan. Kepada Spirit '90, selamat memasuki realitas yang semakin terbuka dengan semangat dan 'iman' yang kuat atau meninggalkan gelanggang dengan segera.
SUWARNO WISETROTOMO
(Pengamat seni rupa, staf pengajar FSRD ISI Yogyakarta)
(Pengamat seni rupa, staf pengajar FSRD ISI Yogyakarta)
No comments:
Post a Comment