What remains of urban life are only the texts that you can read so well in naked bodies.
(Nurul Hayat)
Dalam konteks kehidupan masyarakat urban, identitas adalah persoalan mutlak bagi pergaulan antar manusia. Melalui karya-karyanya Acil mencoba mengkritisi pemahaman yang salah ketika aksentuasi identitas itu sendiri semata-mata disandarkan kepada iklan, lifestyle atau trend. Ia ingin ‘menelanjangi’ tubuh-tubuh yang bersandar kepada omong kosong itu. Bahkan secara ekstrem ia ‘hilangkan’ segala atribut kecantikan atau ketampanan dengan menghilangkan rambut di atas kepala tokoh-tokoh dwi matranya.
Latar Belakang Proses Kreatif
SEORANG anak muda berlari-lari berebut masuk ke dalam sebuah bis kota yang penuh sesak dengan manusia. Tubuhnya yang terbilang kecil itu sempat tertahan di pintu sebelum akhirnya berhasil menyusup ke posisi tengah. Di sekitarnya orang-orang saling berhimpit. Satu-dua orang terlihat berbincang namun nyaris sebagian besar diam tak saling menyapa.
Di luar sana nampak iklan pada baliho-baliho jangkung yang banyak berdiri di perempatan jalan. Televisi raksasa serta spanduk-spanduk kusam yang beberapa di antaranya nampak tercabik-cabik. Gedung-gedung menjulang ke langit. Dan lebih jauh lagi ia melihat orang-orang termangu di halte-halte pemberhentian. Orang-orang berebut sesuatu. Orang-orang saling berkejaran. Dan orang-orang bergerombol yang entah melakukan apa. Demikianlah ia lalui hari demi hari kehidupannya di kota Jakarta dari tahun 1999 hingga medio 2006.
Waktu berhembus cepat dan tanpa disadari pengalaman hidup selama hampir tujuh tahun di kota Jakarta menyisakan kesan mendalam di benak Nurul Hayat, seorang seniman muda yang oleh teman-teman seprofesinya kerap dipanggil Acil. Betapa tidak, wajah-wajah beku tanpa ekspresi yang dahulu kerap ia jumpai ketika menempuh perjalanan dengan bis atau kereta listrik tiba-tiba muncul kembali pada setiap karya-karya lukisnya. Begitu pula dengan manusia-manusia berjubel serta gedung-gedung bertingkat dengan tata ruang berkelok-kelok nan rumit yang selalu dilengkapi dengan tangga darurat.
Nurul Hayat (Acil) lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat pada 6 September 1972. Alumni Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa ini sedang menempuh pendidikan pasca sarjananya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan mengambil program studi penciptaan seni lukis. Bersama rekan-rekannya ia kini menetap di Perum Sewon Asri, Bantul, Yogyakarta.
Acil adalah seorang seniman unik dan multitalented. Selain piawai drawing, instalasi dan melukis ia juga gemar mencipta lagu. Koleksi lagu-lagu ciptaannya telah mencapai puluhan bahkan ratusan judul. Ia menjelajah berbagai jenis musik dari mulai balada hingga reggae. Aktivitas bermusiknya mendapatkan dorongan sejak masih bergabung di Sanggar Suwung Yogyakarta dan terus berlanjut hingga ia melanglang buana. Musik pulalah senjata pamungkasnya untuk membunuh rasa suntuk yang kerap mencekiknya selama di Jakarta.
PERINGKAT, 2010 |
Selain melukis, kini membuat karya-karya tri matra merupakan aktivitas terbarunya yang digeluti dengan tak kalah serius. Acil sengaja memilih kertas koran bekas sebagai media karya-karya tri matranya dengan alasan ramah lingkungan sekaligus mudah didapatkan sehingga dengan mudah pula ditularkan kepada orang lain. Karya-karya tri matranya sudah pernah dipamerkan di Taman Budaya Yogyakarta dan diulas oleh harian Kompas (edisi Jumat, 29 Oktober 2010), Kedaulatan Rakyat (edisi Minggu, 31 Oktober 2010) dan Koran Tempo (edisi Senin, 1 November 2010).
MEMBABI BUTA, 2010 |
Kerangka Pikir dan Tahap Pencarian Karya-karya Dwi Matra
Bertahun-tahun bersinggungan dengan lingkungan, karakteristik manusia serta gejala sosial kota Jakarta merupakan bahan inspirasi tersendiri bagi Acil. Hampir setiap hari ia saksikan orang-orang dari berbagai latar belakang melakukan aktivitasnya masing-masing demi mewujudkan impian dan tujuan mereka. Bagi Acil, semua yang dilakukan manusia merupakan upaya untuk membangun eksistensi dirinya. Sudah jamaknya bahwa hasrat alamiah manusia selalu ingin diakui keberadaannya di tengah-tengah pergaulannya.
Dalam kerangka itu maka kompetisi menjadi sesuatu yang lumrah saja terjadi. Dan bukankah kompetisi dalam berbagai alasan serta wujudnya selalu hadir di tengah-tengah kita? Hal ini tidak mengherankan mengingat naluri manusia selalu ingin menjadi yang terunggul. Namun lantas timbul pertanyaan, apakah esensi dari kompetisi antar manusia tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, secara ekstrem Acil menyitir filosofi Friedrich Wilhelm Nietsche mengenai eksistensi manusia:
“Dalam pergaulan antar-manusia maka yang harus ditumbuhkan adalah manusia-manusia agung, ueber-mensch, superman, yaitu mereka yang oleh kekuatannya bisa mengatasi kumpulan manusia dalam massa. Yang harus dijadikan tujuan dalam kehidupan kemanusiaan ialah menjelmakan manusia-manusia besar yang lebih kuat, lebih cerdas dan lebih berani.”
Sehingga tidaklah mengada-ada apabila kita menyaksikan segerombolan tubuh-tubuh maskulin, telanjang bulat, berkepala plontos warna-warni, dengan raut wajah datar, kerap muncul dalam karya-karya rupa Acil. Mereka selalu dalam pose-pose mengejar, melompat, merengkuh atau menggapai ‘sesuatu’. Acil memiliki pandangan bahwa esensi laku kesenimanan secara profesional adalah menyerap fenomena lingkungan dan kemudian mengomunikasikannya. Maka ia memilih cara komunikasi naratif sebagaimana layaknya novel atau komik yang memiliki unsur alur cerita di dalamnya, di mana akan selalu ada tokoh yang mewakili suatu karakter tertentu. Namun dalam hal ini Acil hanya bercerita melalui satu bingkai lukisan saja.
Tokoh merupakan unsur penting dalam sebuah alur cerita, tak terkecuali gagasan besar tentang naluri manusia yang coba dinarasikan Acil melalui karya-karyanya. Ia mengadopsi stereotype si Polan sebagai tokoh dalam karya-karya lukisnya. Si Polan adalah tokoh tanpa identitas (noname) yang sempurna; sempurna berikut kekurangan dan kelebihannya sebagai manusia. Seperti kita semua ketahui bahwa nama Polan itu sendiri acap dikaitkan dengan kitab kuning para santri untuk mewakili ‘si anu’ dalam kasus-kasus keagamaan-banyak dijumpai dalam kitab-kitab yang membahas bidang syariah.
Nama stereotype si Polan memiliki sebutan yang berbeda-beda di negara lain, misalnya di Arab ia disebut Fulan, di Amerika sebutannya John Doe, di Tionghoa disebut Thio Sam, di Singapura disebut Ah Beng dan di Portugis orang-orang menyebutnya Fulana. Nah, si Polan dalam rekaan Acil digambarkan sebagai lelaki berkepala botak (berwarna-warni) dengan tubuh berwarna satu tone; karena gerakan tubuh hanyalah bayangan (wayangan; warna satu tone). Tubuh sekadar alat dari otak yang berada di kepala. Tanpa kepala, niscaya tubuh tidak memiliki identitas. Dan tentu saja lain kepala lain pula warnanya (isi pikirannya).
Syahdan, ‘tujuan’ paling tinggi (mulia) yang hendak diraih manusia sepanjang usianya kerap diterjemahkan sebagai ‘insan kamil’. Maka sebagaimana karya-karya seri “Nine Spirit” yang dibuat sepanjang tahun 1999, Acil menggambarkan pencapaian mulia tersebut dengan simbolisasi angka ‘9’. Interpretasi mengenai simbolisasi tersebut tidak akan dibahas di sini, namun pada dasarnya Acil hendak menegaskan bahwa kompetisi antar manusia untuk mencapai keunggulan akan berakhir pada satu tujuan mulia (paling tinggi) yang bersifat dimensional (bertingkat-tingkat)-tidak akan sama antara situasi satu dengan situasi yang lain, atau subyek satu dengan yang lainnya.
Dalam sudut pandang yang lain WT Stace dalam bukunya The Concept of Morals, menegaskan bahwa sesuatu dikatakan bereksistensi apabila ia memiliki sifat publik. Artinya, keberadaan sesuatu itu harus ‘disaksikan’ dan ‘dialami’ oleh banyak orang. Adalah sebuah pengalaman berharga ketika berdiri di dalam bis kota atau kereta listrik Jakarta-Bogor, ia saksikan orang-orang berdiri atau duduk begitu dekat satu sama lain namun mereka tidak saling menyapa. Mereka tidak saling mengetahui latar belakang; nama, alamat, pendidikan dan lain sebagainya. Bagi Acil, orang di depannya ‘tidak ada’ sebab ia tidak mengetahui identitasnya, begitu pun sebaliknya bagi orang di depan Acil. Demikian seterusnya. Semua orang saling meniadakan eksistensi masing-masing.
Dalam konteks kehidupan masyarakat urban, identitas adalah persoalan mutlak bagi pergaulan antar manusia. Melalui karya-karyanya Acil mencoba mengkritisi pemahaman yang salah ketika aksentuasi identitas itu sendiri semata-mata disandarkan kepada iklan, lifestyle atau trend. Ia ingin ‘menelanjangi’ tubuh-tubuh yang bersandar kepada omong kosong itu. Bahkan secara ekstrem ia ‘hilangkan’ segala atribut kecantikan atau ketampanan dengan menghilangkan rambut di atas kepala tokoh-tokoh dwi matranya.
WHERE AM I Mixed media on canvas, 120 x 150 cm, 2010 |
Ia mencoba menjawab simbolisasi fenomena kehidupan urban dengan meletakkan bidang-bidang bangunan lengkap dengan anak tangganya. Semula ia menemukan aksentuasi fenomena kehidupan urban pada bidang-bidang bangunan itu, namun ketika proses berpikirnya terus berkembang ia menemukan bahwa tekslah yang membentuk konteks (fenomena urban).
MANY WAYS TO NINE Acrylic on canvas, 140 x 200 cm, 2009 |
Ketika berhadapan dengan jarak, teks memantulkan realitas di dalam benak manusia bahkan acap kali mereproduksi diri menjadi makna-makna baru. Acil rupanya memahami fenomena ini di mana dalam kerangka semiotika visual ia ‘balikkan’ teks menjadi salah satu elemen artistik (encourage) bagi karya-karyanya yang disisipkan dengan penuh kehati-hatian dan kecermatan.
Fakta mutakhir era revolusi komunikasi saat ini yakni secara visual teks diwakili oleh lembar-lembar kertas koran. Tak dapat dipungkiri bahwa koran adalah salah satu produk kehidupan urban. Namun kemudian secara alamiah ia melantun dan berbalik menjadi agen paling dominan dalam membentuk lifestyle serta pola citra diri masyarakat urban itu sendiri. Pertalian keduanya sangat jelas termanifestasi melalui iklan-iklan gadget, good services, busana, aksesoris, kecantikan dan lain sebagainya.
Bertolak dari gagasan tersebut di atas, Acil memutuskan untuk merubah teknik melukisnya menjadi kolase-kolase dengan menempatkan kertas koran bekas pada bidang dwi matranya. Keputusan ini sangat fundamental mengingat penting menjalin keterhubungan yang kuat antara bahasa estetik (media visual) dengan wacana yang digagas.
REDIRECTION Mixed media on canvas, 145 x 220 cm, 2011 |
Keniscayaan fine art hari ini ialah bahwa ia akan terus berkembang dan terus-menerus mencari bentuknya. Sejurus dengan itu seniman dituntut untuk terus bereksplorasi dalam hal pilihan bahasa estetik serta kerangka pikir yang melatar belakangi kelahiran karya-karyanya.
Dalam hal inilah letak keistimewaan Acil sebagai seorang seniman profesional yang meski perjalanan kesenimanannya masih terbilang hijau namun ia tipe seniman pekerja keras dan pembelajar, terbukti dengan jelajah gagasannya yang kian berkembang sejalan dengan hasratnya untuk terus mengembangkan kreativitas dan menolak dikungkung oleh media serta matra (dimensi) semata. Kita tunggu penjelajahan kreativitas Acil berikutnya.
Yogyakarta, Desember 2010
DEDI YUNIARTO
DEDI YUNIARTO
No comments:
Post a Comment