Tuesday, March 6, 2012

HUNTING DOWN THE TIME: MITOS DAN RELATIVITAS WAKTU


“The beauty of art does not refer to certain media. In fact, it can refer to any spaces.”
Moch Basori



Sosok trubador itu mengendarai sepeda dengan kecepatan super tinggi. Ia melintas dengan tubuhnya membungkuk laiknya seorang pembalap, seraya tangan kirinya di samping poros roda depan seperti hendak ‘meraih’ sesuatu dari lintasan. Gemuruhnya menyibakkan angin dan kabut berwarna merah darah. Di balik kabut itu samar-samar Gunung Merapi berdiri diam dan sunyi.
ANASIR rupa yang ditorehkan Basori di atas kanvas karyanya bertajuk Hunting Down The Time (Berburu Waktu) buatan tahun 2011 itu terasa liris. Gambaran situasi yang melukiskan sebuah sosok di tengah arus kecepatan tinggi sungguh memiliki daya gugah dan sangat dramatis sebagaimana adegan slow motion yang banyak kita jumpai dalam film-film laga. Begitulah cara Basori menggambarkan keberadaan sang waktu. Ia tidak berpretensi untuk menyitir persoalan ‘yang lebih serius’ seperti misalnya teori relativitas waktu Einstein yang tersohor itu. Toh sosok rekaannya tidak meluncur di atas roket berkecepatan cahaya. Ia hanya mengendarai pesawat transportasi konvensional sebelum peradaban mesin datang.

Serba tidak jelas memang, apakah sosok trubador itu manusia, manusia setengah robot, ataukah robot? Lantas apakah korelasi Gunung Merapi dengan sepak terjang sosok yang sedang berburu (atau diburu) waktu tersebut?

Gunung Merapi berada tepat di tengah-tengah pulau Jawa dan memiliki ketinggian sekitar 2.968 m dpl. Ia merupakan salah satu gunung paling aktif di Indonesia karena mengalami erupsi setiap dua hingga lima tahun sekali. Terakhir, gunung ini meletus pada tanggal 26 Oktober 2010 dan menewaskan belasan penduduk. Dampak lahar dinginnya masih dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai yang berhulu di Merapi, sampai dengan hari ini. Keberadaannya tidak dapat terlepas dari kota Yogyakarta dengan Keraton Ngayogyakarta sebagai pusatnya.

Adapun Ngayogyakarta berasal dari bahasa Sanskerta ‘Ayodya’ atau dalam bahasa Jawa ‘Ngayodya’, ibukota kerajaan Rama dalam epik Ramayana. Rama notabene sebagai inkarnasi Dewa Wisnu, yakni dewa penyelamat dan pemelihara bumi. Wisnu merupakan tipe ideal setiap Sultan Yogyakarta.

Kota Yogyakarta dibelah oleh sebuah ‘garis imajiner’ yang dibentuk oleh rangkaian lima titik, yakni Laut Selatan → Keraton Ngayogyakarta → Pasar Beringharjo → Tugu Yogyakarta → Gunung Merapi, yang secara geografis terletak dalam satu garis lurus, membujur dari Selatan ke Utara. Dalam pengertian filosofis Jawa, ‘garis lurus vertikal’ ini (atau dalam ajaran Islam dapat pula merujuk kepada huruf Arab ‘alif’) memiliki makna sebagai proses kehidupan manusia dari ia lahir hingga menghadap kepada sang khalik. Hal ini inheren dengan waktu, yang terus melekat dalam setiap proses hidup manusia yang bermula dari rahim ibu hingga ajal tiba.

Konteks persoalan yang diangkat oleh Basori ke atas kanvasnya selalu tidak terlepas dari fenomena manusia dan lingkungannya. Kita tengok saja kehidupan berbagai lapisan masyarakat dan profesi di tengah kota-kota besar seperti Jakarta, Manila, Seoul, Taipei, Shanghai, Tokyo, New Delhi, Paris, London, New York, dsb. Orang-orang berjalan bergegas di trotoar atau berlari mengejar angkutan umum, sopir-sopir bus mengebut untuk kejar setoran, kontraktor properti yang perlu memberi keputusan cepat, pelayan restoran berlari-larian melayani tamunya, manajer marketing memacu kendaraannya sebab terlambat menghadiri presentasi, transaksi-transaksi di bursa saham, deadline berita, jasa perbankan, dsb. Bagi mereka yang tinggal di tengah kota besar, waktu adalah uang.

Dalam hal kota Yogyakarta -- di mana Basori menetap bertahun-tahun bersama seorang istri dan tiga orang anaknya -- justru terjadi pemandangan sebaliknya, di mana andong (kendaraan tradisional yang ditarik oleh kuda) berlalu-lalang pelan di ruas-ruas jalan protokol, orang-orang asyik mengobrol di angkringan (gerobag dorong yang menjual berbagai macam makanan dan minuman yang biasa terdapat di pinggir jalan kota Yogyakarta) sembari menikmati kopi atau teh sepanjang hari, atau anak-anak muda menyusuri jalan Malioboro dengan sepedanya. Ritme hidup demikian barangkali lantaran masyarakat Yogyakarta (dan orang Jawa pada umumnya) memiliki falsafah hidup ‘alon-alon waton kelakon’ (pelan-pelan asal terlaksana). Konon seorang ahli marketing ternama dari Jakarta memberikan label kepada kota Yogyakarta sebagai ‘the city of slow’. Nah, betapa relatif-nya waktu.

Sejatinya masyarakat urban yang bergerak cepat di kota-kota supersibuk dunia dan masyarakat tradisional yang hidup di kota Yogyakarta atau di pelosok pedesaan, masing-masing didorong oleh hasrat ingin ‘meraih’ derajat tertinggi sepanjang lintasan hidupnya. Bangunan relasi sosial dalam sistem ekonomi yang bersifat kapitalistik dapat digambarkan sebagai berikut...tingkat jabatan senantiasa sebanding dengan besar tanggung jawab, sementara harga diri selalu berbanding lurus dengan tingkat ekonomi. Kian tinggi jabatan, kian besar tanggung jawab, demikian pula kian tinggi tingkat ekonomi, kian tinggi pula harga diri. Bagi mereka yang diperbudak hasrat, ia (rela atau terpaksa) harus bekerja sepanjang waktu. Betapa tugas-tugas profesi pada akhirnya merampas waktu untuk bersosialisasi, atau sekadar menonton televisi dengan keluarga, rekreasi, istirahat teratur, makan secara sehat, menikmati seni, dsb. Alhasil, mereka berubah menjadi manusia (setengah) robot sebab sisi-sisi kemanusiaannya kian tumpul sebab termanipulasi.

Basori dikenal sebagai pelukis unik. Sapuan tangannya cepat, ekspresif dan intuitif. Ia tipe seniman yang lebih senang mengikuti alam bawah sadar (naluri) daripada alam pikirnya. Ia pun sangat tertarik dengan ritual kejawen (Javanese mysticism). Tak jarang ia melakukan eksplorasi media seperti kaca mobil, serabut kelapa, kayu, resin, acrylic, digital print dan metal. Untuk menguasai teknik pembuatan karya-karya dari medium metal, ia bahkan rela belajar mengelas secara khusus selama dua bulan sampai akhirnya mendapatkan sertifikat dari perusahaan Nikko Steel.

Cara kerjanya pun berbeda. Ia seringkali mencampurkan warna langsung di atas kanvas lukisnya. Tidak cukup satu atau dua medium, ia campurkan cat minyak, acrylic serta bahan-bahan pewarna lain sekaligus, termasuk dengan pewarna batik. Tidak cukup pula satu atau dua teknik (disamping teknik batik) ia gabungkan teknik kaligrafi huruf Arab dan pointilis sebagai unsur detil karya. Perihal kemampuannya menguasai teknik batik ini didapatkannya dari studio Brahma Tirta Sari (BTS), sebuah studio batik kontemporer (fine art batik) di kota Yogyakarta pimpinan Agus Ismoyo dan Nia Fliam. Kemampuan serta penguasaan teknik seperti itu tak jarang melahirkan karya-karya yang tak terduga.

Praktis jejak-jejak teknik batik dapat Anda telusuri di sekujur karya Hunting Down The Time, maupun karya-karya lain yang dibuat tahun 2011. Basori memanfaatkan ‘malam’ (wax resist technique) untuk membuat detil gradasi efek kabut berwarna merah, putih, dan kuning itu. Malam (wax) ini dalam praktek membatik biasa digunakan di bagian pola (pattern) pada kain. Malam digunakan untuk melindungi pola agar tidak tertembus pewarna batik pada saat pencelupan warna (dyeing).

Betapapun seniman adalah seorang trubador yang tak boleh lelah menjelajahi semangat zamannya. Keberadaannya di tengah-tengah masyarakat kerap mengundang kontroversi. Namun demikian perannya tidak dapat disepelekan. Karya-karya mereka tak jarang mengandung percikan nilai-nilai moral tersembunyi di balik metafora-metafora visual yang mereka ciptakan. Seniman yang baik tidak kandas bertarung dengan waktu. Ia harus mampu menghadirkan sesuatu yang tidak saja berbeda, namun juga sesuatu yang bukan repetisi. Dan bukankah ini merupakan esensi tanggung jawab profesi sebagai seorang seniman?

Hunting Down The Time laiknya sebuah cermin untuk mematut diri. Peradaban mutakhir yang diagung-agungkan sebagai pencapaian tertinggi sejarah umat manusia agaknya telah membangkitkan suatu fenomena; manusia urban tidak saja telah dirampas dari keluarga dan lingkungannya (alamnya) namun juga dari dirinya sendiri. Lambat-laun sisi-sisi kemanusiannya habis tergerus. Kendati Leonardo da Vinci dalam suatu kesempatan pernah berkata, “manusia adalah tauladan bagi dunia!”.

Yogyakarta, 21 Desember 2011
Dedi Yuniarto

No comments:

Post a Comment