Tuesday, March 6, 2012

MERAYAKAN TUBUH DI GAYA FUSION ART SPACE


‘Celebrating The Body’ mengangkat tubuh sebagai kerangka landasan atas narasi visual yang dirangkai oleh seniman-seniman Fighting Cocks Group. Mengapa tubuh? Tubuh sebagaimana disebut filosof Maurice Merleau-Ponty sebagai etre-au-monde. Ia adalah cara mengada manusia di alam semesta ini. Ia merupakan aspek penting bagi manusia, baik biologis, karena tubuh menunjang kehidupan manusia, maupun filosofis, yakni sebagai medium untuk menyentuh dunia dan merealisasikan dirinya sendiri. Melalui tubuhnya, manusia mengungkapkan eksistensi diri, karena dengan tubuhnya ia dikenal sebagai subyek.
MENJELANG tutup tahun 2011 Fighting Cocks Group Yogyakarta memiliki dua program pameran di dua tempat strategis sekaligus yakni Philo Art Space (Jakarta) dan Gaya Fusion Art Space (Bali). Agenda ini tidak terhitung dengan agenda-agenda pribadi para seniman anggotanya setelah sebelumnya Zam Kamil dan Moch Basori meramaikan pameran Kelompok Spirit ’90 di Griya Santrian Gallery (Bali) sementara Nurul ‘Acil’ Hayat bergabung dengan Sanggar Suwung Yogyakarta untuk berpameran di Bentara Budaya Yogyakarta dan sebelumnya melakukan kolaborasi dengan seniman Austria di Sewon Art Space (Yogyakarta).

Pameran bersama di Philo Art Space bertajuk ‘Tubuh-tubuh Margin’ berlangsung pada tanggal 26 September hingga 10 Oktober 2011. Pameran dengan kurator Tommy F. Awuy itu mengetengahkan sekitar 21 karya terbaru. Pada saat yang sama, pameran ‘Celebrating The Body’ di Gaya Fusion Art Space pun berlangsung pada tanggal 2 Oktober hingga 2 November 2011.



Salah satu hal yang menarik adalah pada setiap event yang diselenggarakan oleh Fighting Cocks Group (diluar event mandiri lainnya) selalu melibatkan seniman-seniman lain. Lihat saja pameran di Philo Art Space, Fighting Cocks Group menggandeng Priyaris Munandar dan Iqrar Dinata. Sementara I Made Wiradana dan Ida Bagus Purwa diajak bergabung dalam pameran di Gaya Fusion Art Space. Memang kelompok ini menyadari sepenuhnya untuk menggunakan setiap event yang ada sebagai wahana dalam rangka memperluas jejaring dengan sesama seniman maupun institusi stakeholder seni rupa lainnya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan untuk mengajak institusi lain di luar ruang lingkup seni rupa dalam konteks event-event yang tidak saja ‘memamerkan’ karya-karya seni rupa namun juga proses berkaryanya itu sendiri (workshop).

Zam Kamil-5 AGUSTUSOil on canvas, 130 x 130 cm, 2010

‘Celebrating The Body’ mengangkat tubuh sebagai kerangka landasan atas narasi visual yang dirangkai oleh seniman-seniman Fighting Cocks Group.

Mengapa tubuh? Tubuh sebagaimana disebut filosof Maurice Merleau-Ponty sebagai etre-au-monde. Ia adalah cara mengada manusia di alam semesta ini. Ia merupakan aspek penting bagi manusia, baik biologis, karena tubuh menunjang kehidupan manusia, maupun filosofis, yakni sebagai medium untuk menyentuh dunia dan merealisasikan dirinya sendiri. Melalui tubuhnya, manusia mengungkapkan eksistensi diri, karena dengan tubuhnya ia dikenal sebagai subyek. Dengan tubuhnya, manusia melewati ujian sejarah─yang tersimpan rapih di dalam organ indera tubuhnya.

Zam Kamil-PIETA MERAH PUTIH
Oil on canvas, 130 x 130 cm, 2009
Kemudian masing-masing seniman menggubah wacana tubuh tersebut menurut sudut pandang mereka. Multazam ‘Zam’ Kamil memaknai tubuh sebagai wahana relasi gagasan antar manusia. Ia mengangkat visual siluet tubuh yang menyatu dengan moment puitik keseharian manusia. Bagi Zam Kamil, relasi gagasan antar manusia sangat mungkin terjadi dalam situasi apapun dan akan ‘saling menemukan’ sebagai manifestasi hukum alam. Ia bahkan mengejawantah dalam situasi yang penuh gejolak dan perbedaan sekalipun. Lihat saja karyanya yang bertajuk ‘Pieta Merah Putih’ dengan visual dua sosok siluet berwarna merah dan putih dimana siluet berwarna merah terlihat mendukung (memeluk) siluet putih yang hampir rebah. Rupanya Zam Kamil memahami perlu ‘keberanian’ luar biasa (dengan simbolisasi siluet berwarna merah) untuk mendukung dan menopang suatu gagasan besar, apapun bentuk dan ruang lingkupnya.

Moch Basori-ACROBAT
Oil on canvas, 100 x 120 cm, 2002

Moch Basori dalam karyanya bertajuk ‘Acrobat’ mengangkat tubuh yang mengada sebagai individu dengan segala kemungkinan-kemungkinannya. Berbanding terbalik dengan Nurul ‘Acil’ Hayat yang mengetengahkan tubuh-tubuh di dalam kelompok. Tubuh-tubuh maskulin dengan raut wajah tanpa ekspresi, telanjang bulat, berkepala plontos warna-warni. Segerombolan tubuh-tubuh itu selalu dalam pose-pose mengejar, melompat, merengkuh atau menggapai ‘sesuatu’ sebagai narasi visual atas hasrat manusia yang selalu ingin berkompetisi. Simak saja karya Acil bertajuk ‘Redirection’ dan ‘The Hunters’. Dua karya Acil tersebut rupanya mendapatkan perhatian lebih dari para ekspatriat dan wisatawan asing yang berkunjung. “Ada seniman lain yang menggunakan media kertas koran namun kurang detil sebagaimana Acil,” terang Desak Rai Darmayanti, manajer Gaya Fusion Art Space. “I like these art works,” kata Beatriz Mousinho dalam kesempatan berbeda.

Nurul 'Acil' Hayat-REDIRECTION
Mixed media on canvas, 145 x 220 cm, 2011
Nurul 'Acil' Hayat-THE HUNTERS
Mixed media on canvas, 130 x 150 cm, 2011

Senada dengan Acil, figur-figur telanjang juga diketengahkan secara ekspresif oleh Ida Bagus Purwa dan I Made Wiradana namun dengan sudut pandang skeptis. Ida Bagus Purwa dalam karyanya bertajuk ‘Silent’ mengetengahkan tubuh seorang laki-laki dewasa duduk tertelungkup tanpa daya. Barangkali karena kehidupan sehingga tubuh harus menanggung ‘beban’. Wiradana lebih gamblang dalam menggambarkan tubuh-tubuh dengan beban ini. Dua karyanya bertajuk ‘The Body #1’ dan ‘The Body #2’ mengetengahkan sosok-sosok tubuh laki-laki bercawat. Wajahnya yang berwarna merah padam mengandung penderitaan, sementara kedua tangannya terentang lebar seperti tengah tersalib.

Ida Bagus Purwa-SILENT
Mixed media on canvas, 200 x 160 cm, 2010

Sebuah video instalasi karya Beatriz Mousinho melengkapi ajang pameran bersama ini. Video instalasi bertajuk ‘Beyond Their Words’ itu merupakan salah satu bagian dari Ubud Writers and Readers Festival 2011. E. Jane Fuller, executive producer event sastra tahunan terbesar di Bali tersebut dalam pidatonya ketika malam pembukaan (10/01/2011) menyampaikan ekspresi bangganya atas kolaborasi dua event berbeda namun dapat saling melengkapi sehingga layak untuk dirayakan bersama sebagai sebuah event budaya bagi publik seni di Bali dan sekitarnya.

I Made Wiradana-THE BODY #1
Mixed media on canvas, 130 x 150 cm, 2011
I Made Wiradana-THE BODY #2
Mixed media on canvas, 130 x 150 cm, 2011

Pembukaan yang berlangsung secara sederhana itu dimulai pukul 20.00 WITA dan dihadiri sekitar 60 orang yang terdiri dari panitia dan seniman Ubud Writers and Readers Festival 2011, alumni dan mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bali, beberapa anggota Ten Fine Art Bali serta seniman-seniman Bali seperti Ida Bagus Purwa, I Made Wiradana, I Wayan Sujana (Suklu) dan para pecinta seni di Bali.

Mari merayakan tubuh!


November, 2011
DEDI YUNIARTO

No comments:

Post a Comment