Saturday, March 3, 2012

SPIRIT ’90: ROMANTISME DAN FENOMENA


Karya-karya yang mereka sajikan, rata-rata tampak menunjukkan kelasnya lebih tinggi, jika dilihat dari usia angkatan (pendidikan) yang mereka tempuh. Sebagian besar dari mereka menunjukkan totalitas yang cukup menggembirakan.
Suwarno Wisetrotomo




Romantisme yang Menginspirasi
SYAHDAN, sepasang penjor tinggi melengkung menancap di pintu gerbang gedung Purna Budaya Yogyakarta. Bebungaan warna-warni di dalam pot tertata apik di sudut-sudut teras depan maupun di dalam ruangan. Anak-anak muda yang rata-rata berambut gondrong dengan tanda pita menempel di baju nampak berbaur dengan puluhan pengunjung lainnya. Bukan peristiwa ritual adat Bali atau pernikahan sepasang muda-mudi dari keluarga Bali perantauan, melainkan di sana tengah berlangsung perhelatan seni rupa dari kelompok Spirit ‘90. Memasuki bulan kedua tahun 1994 tak kurang dari 24 orang seniman muda yang kala itu rata-rata berumur 24 tahunan berparade unjuk kreativitas.

Bos Mc Donald, Bambang N. Rahmadi dan Dr. Oei Hong Djien yang masih berpredikat sebagai kolektor muda terlihat hilir-mudik keluar-masuk ruang pamer. Gelaran di Purna Budaya yang merupakan pameran ketiga kelompok Spirit ’90 itu dinilai sebagai ajang paling sukses sekaligus mengejutkan. Betapa tidak, hampir seluruh karya yang dipamerkan tandas terjual. Fantastis.
   
Kendati berlangsung (hanya) lima hari (5-10 Februari 1994) pameran bersama tersebut telah berhasil menyedot perhatian berbagai pihak termasuk kalangan budayawan dan pecinta seni Yogyakarta dan sekitarnya. Budayawan Dick Hartoko melalui beberapa surat kabar menegaskan bahwa inilah semangat baru generasi 90-an. Dr. Oei Hong Djien sendiri sangat mengapreasiasi pameran Spirit ‘90 karena menawarkan karya-karya yang begitu beragam dan ekspresif. Suwarno Wisetrotomo, staf pengajar FSRD ISI Yogyakarta cum kritikus seni rupa, sebagaimana dilansir media Kedaulatan Rakyat edisi Minggu Kliwon, 20 Februari 1994, hal. 4, menegaskan:
   
Satu hal yang saya catat dengan menarik adalah bahwa mereka menawarkan satu ekspresi kata hati yang total leluasa, penuh keyakinan, potensial dan ternyata mendapatkan tempat (lagi) di tengah penikmat seni lukis. Ekspresi kata hati yang saya maksud adalah munculnya kembali ekspresi yang total, cenderung abstrak dan jauh dari kesan menata-nata format atau bentuk serta elemen-elemen dasar lainnya. Karena selama ini kesan menata-nata itulah – dan karenanya sebuah karya menjadi kehilangan ekspresi dan misterinya – yang nyaris selalu kita temui dalam setiap peristiwa pameran.
   
Spirit '90 adalah nama kelompok mahasiswa seni lukis yang terbentuk secara ‘otomatis’ karena para anggotanya merupakan sekumpulan mahasiswa se-kelas dalam satu generasi, yakni angkatan tahun 1990 program studi seni lukis (FSR) Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang semula berjumlah 33 orang mahasiswa. Menginjak tahun kedua perkuliahan, ketika itu material cat minyak pada kanvas mulai umum digunakan, muncul ide untuk merancang pameran bersama. Pameran perdana di luar kampus inilah sebagai cikal bakal lahirnya Spirit ‘90, sebagai bendera bersama untuk mewadahi kegiatan-kegiatan pameran bersama. Pameran pertama ialah dalam rangka “Safari Remaja Berprestasi”, di P3G Kesenian Kaliurang, Yogyakarta. Pada tahun yang sama, atau tepatnya tanggal 4-7 Desember 1991 bertempat di Gedung Kartapustaka, menyusul pameran kedua. Lantas pada pameran ketiga di awal tahun 1994 nama Spirit ‘90 mulai ditancapkan ke panggung seni rupa profesional.
   
Sejatinya perjalanan kesenian adalah sebagaimana layaknya kisah legenda ‘jalan pedang’ Musashi. Laku kesenimanan adalah sebuah pilihan hidup yang tujuan akhirnya tak lain mengolah diri menjadi ‘pribadi yang lebih baik’ hari demi hari. Pribadi yang digembleng terus-menerus oleh proses. Demikian halnya potensi seniman-seniman anggota Spirit ’90; dalam hal proses, mereka sedang dalam gemblengan waktu. Salah satu indikator yakni dari segi konsistensi terbukti kuantitas seniman yang masih aktif melukis terus mengalami degradasi, jika tidak dapat dikatakan kian menyusut. Dari segi kualitas (mutu seni) pun beberapa terlihat terus melakukan eksplorasi teknik kendati masih belum dapat dikatakan sebagai penemuan puncak – untuk mengingatkan bahwa pameran bersama Spirit ’90 hanya merupakan salah satu side project masing-masing individu. Perjalanan proses anggota kelompok ini dapat kita saksikan pada perhelatan pameran ke sepuluh Spirit ’90 yang hingga tulisan ini diturunkan masih berlangsung di Santrian Gallery, Sanur, Bali.
   
Setelah hampir lima tahun mengalami vakum – pameran terakhir tanggal 24 April-26 Mei 2005 – kini Spirit ’90 kembali menghimpun diri. Pameran bertajuk “Dusta Suci” ini berlangsung tanggal 30 April hingga 30 Mei 2011 dan diikuti oleh 12 (dua belas) orang seniman termasuk di dalamnya almarhum I Nyoman Sukari. Selengkapnya seniman-seniman yang terlibat antara lain Multazam (Zam) Kamil, Moch Basori, Tomy Faizal Alim, I Nyoman Sukari, Joko ‘Gundul’ Sulistiono, I Made Wiradana, M. Sugian Noor, Teguh Ritma Iman, Hamzah, Haryanto, I Wayan Sunadi dan Zulkarnaini.

 

Sejak awal gagasan berpameran digulirkan, tidak ada tanda-tanda jejak jelajah diskursus tertentu yang terjadi antar anggota, sehingga pameran selama satu bulan penuh itu tidak mengandung maksud-maksud untuk memaknai suatu moment tertentu atau menohok dengan ide-ide yang mengerucut menjadi sebuah wacana tertentu – selain daripada sebuah ajang ‘reuni’ semata. Namun inilah kondisi unik yang terjadi di dalam Spirit ’90. Menurut penuturan Zam Kamil, Spirit ’90 dibentuk oleh rasa kekeluargaan, kebersamaan, kebanggaan serta kesadaran bahwa proses bersama selama masa studi di almamater ISI Yogyakarta perlu untuk dimaknai. Dalam sebuah wawancara jarak jauh, Joko ‘Gundul’ Sulistiono pun berkata senada, ia menegaskan salah satu alasan kelompoknya mampu bertahan hingga detik ini adalah karena rasa kekeluargaan.



Sebagaimana kita tahu, dunia seni rupa Indonesia dan Yogyakarta khususnya, memiliki perjalanan kreatif dan sejarah yang cukup panjang. Dinamisasi yang terjadi tentu saja erat kaitannya dengan situasi jaman yang melingkupinya. Barangkali masih segar dalam ingatan kita era sanggar-sanggar atau kelompok yang berdiri di kota Yogyakarta dan Surakarta seperti misalnya Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (1945) pimpinan Djajengasmoro, Himpunan Budaya Surakarta (1945) pimpinan Moerdowo, perkumpulan Pelangi (1947-1949) pimpinan Sularko, Sanggar Seniman Masyarakat (1946) pimpinan Affandi yang lantas berubah menjadi Seniman Indonesia Muda (SIM) pimpinan Sindudarsono Sudjojono, Pelukis Rakyat (1947) yang akhirnya pecah menjadi Pelukis Indonesia atau kelompok Pelukis Indonesia Muda (1952) pimpinan Gregorius Sidharta dan Widayat yang anggota-anggotanya kebanyakan adalah mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang kini menjadi Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Setiap era dan setiap perkumpulan memiliki konteksnya. Mereka mewakili semangat jamannya (zeitgeist) sehingga hampir sebagian besar mengusung ciri unik baik dari aspek watak hingga wacananya, demikian pula dengan Spirit ’90.

Hamzah-RUMAH KENANGAN
Acrylic on canvas, 160 x 140 cm, 2010

Wacana atau idealisme tertentu acapkali berfungsi sebagai bahan bakar pendorong laju kreativitas sebuah kelompok. Dalam hal Spirit ’90 kekeluargaan dan kebersamaan dirasa lebih penting. Bukan berarti kelompok ini steril sama sekali dari pertarungan gagasan dan wacana antar anggota. Bahkan Studio Spirit ’90 yang terletak di jalan Ngadisuryan, Yogyakarta pernah menjadi saksi sejarah betapa sengit pertarungan kreatif antar individu melalui berbagai aktivitas baik diskusi-diskusi maupun workshop yang lantas berlanjut menjadi ajang pameran berkala.

Kendati tidak ada suatu landasan berupa kesepakatan bersama namun yang acap terjadi apabila terdapat individu-individu memiliki kecenderungan terhadap wacana atau idealisme tertentu, mereka lebih memilih jalur solo atau membentuk kelompok lain di luar Spirit ‘90. Sebagaimana halnya Joko ‘Gundul’ Sulistiono, Hamzah dan Yani Halim dengan solo project-nya, Zulkarnaini dengan Sanggar Sakato-nya ataupun Moch Basori dan Zam Kamil yang menggandeng Nurul Hayat (Acil) untuk membentuk Fighting Cocks Group Yogyakarta. Toh individu-individu lain pun seperti misalnya I Made Wiradana, Teguh Ritma Iman, I Ketut Tenang, Zulkarnaini I Wayan Sunadi serta individu-individu lainnya tetap berkarya dengan mengusung idealisme masing-masing.

I Made Wiradana-EVERYTHING OK
Mixed media on canvas, 130 x 150 cm, 2011
Membina sebuah kelompok ber-label seni rupa tidaklah mudah. Mengelola berbagai macam ragam kepala manusia dengan berbagai idealisme di dalam kepalanya – pada lingkup almamater ISI Yogyakarta misalnya – barangkali hanya Spirit ’90 sebagai sebuah kelompok berlatar ‘angkatan’ yang berhasil membina kebersamaan hingga dua dekade lamanya. Tak pelak kelompok ini kerap menjadi bahan ‘kecemburuan’ para senior hingga adik-adik kelas mereka. Tidak muluk-muluk apabila kelompok Detik ‘96 mengungkapkan bahwa kelompok mereka pun terinspirasi oleh Spirit ’90. Yaksa Agus dalam pengantar katalogus pameran kelompok Detik ’96 yang berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) tanggal 17 s/d 21 April 2011 baru-baru ini menulis sebagai berikut:
   
Kelompok ini (baca: Spirit ’90, pen) pada tahun 1993 (seharusnya tahun 1994, pen) menggelar pameran yang ke-2 (seharusnya ke-3, pen) di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) yang kala itu TBY masih menempati gedung Purna Budaya atau yang saat ini berganti nama sebagai Pusat Kebudayaan Kusnadi Hardjosumantri. Pameran itu menjadi panas karena terus-menerus menarik untuk dibicarakan, dicibir dan dicemburui. Karena dalam sepanjang sejarah pameran angkatan yang notabene masih mahasiswa, hanya kelompok Spirit ’90 yang pada malam pembukaan semua karya yang dipamerkan sold out. Dan dari pameran itu lantas muncul nama-nama perupa muda yang mendadak menjadi idola para kolektor, sebut saja I Nyoman Sukari, I Made Wiradana, Joko ‘Gundul’ Sulistiono, Multazam (Zam) Kamil, Moch Basori, dll. Dan diakui atau tidak, Spirit ’90 akhirnya mampu membangkitkan gairah para perupa muda untuk membentuk kelompok, dari yang sekadar untuk meringankan beban agar mudah untuk unjuk gigi, hingga kelompok yang terbentuk atas kesamaan ideologi.
   
Tentang Dusta Suci
Hardiman, seorang dosen seni rupa Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksa), penulis seni rupa dan kurator independent menetap di Bali, dalam catatan pengantar katalogus pameran menangkap secara harfiah tema “Dusta Suci” yang dilontarkan kelompok Spirit ‘90:
   
Hari ini, kita sedang menyaksikan sejumlah karya seni rupa karya kelompok Spirit ’90 yang menggarap isu tentang kebohongan. Sebuah tema pameran yang dalam konteks sosial hari-hari ini sungguh menarik. Tentu saja, karya para seniman kelompok Spirit ’90 ini musti dilihat perkara ‘apa yang dihadirkan’ dan bukan ‘apa yang tampak’.
   
Mari kita cermati karya kelompok Spirit ’90 ini. Bis yang bermetamorfosis menjadi kendaraan perang dengan roda besar dan balutan warna hijau di sekujur kanvasnya; rohaniwan yang sejajar dengan badut, robot dan rangda; master yang berwajah tegang dan ketakutan; kota, kotak-kotak yang dengan tegas memisah-misahkan manusia; malam, cangkir kopi dan suasana yang mencekam; bebotoh, ayam dan suasana layu; teks-teks verbal, grafiti dan kolase yang liar. Secara umum, inilah gambaran atau representasi yang dihadirkan oleh kelompok Spirit ’90 tentang (akibat) kebohongan itu. Kita, hari-hari ini hanya tinggal memiliki kesemrawutan, seliweran citra negatif, kelam dan teror.

Zulkarnaini-LAMPU MERAH
Acrylic on canvas, 150 x 200 cm, 2008
Tomy Faisal Alim, dalam sebuah wawancara jarak jauh menegaskan aksentuasi “Dusta Suci” adalah sebagai mana ‘semiotika negativa’ yakni sebuah upaya menafsirkan simbol makna yang diharapkan mampu memberikan nilai-nilai spirit yang positif. Sementara dalam lingkup yang lebih sempit Zam Kamil mengungkapkan respons arus situasi seni rupa kini yang baginya nampak bagai menghesta kain sarung (berputar tiada akhir). “Seni klasik stuck, lalu lahir modern art, kemudian muncul (seni) kontemporer yang substansinya adalah seni (klasik) tradisi yang dimaknai ulang. Demikian seterusnya dan hanya pengulangan-pengulangan yang memuakkan. Maka kami menangkap (fenomena ini) sebagai sebuah ‘dusta suci’,” demikian Zam Kamil.

Pernyataan lain yang tak kalah ekstrem datang dari I Made Wiradana, “Arus seni rupa kini, ter-influens seni rupa China yang akhir-akhir ini merajai Asia. Para pelaku seni hanya memikirkan keuntungan bisnis semata. Maka karya seni diciptakan dengan cara nista dan tidak fair. Spirit ’90 ingin mengkritisi-mengoreksi perkembangan seni rupa Indonesia dari para pelaku seni yang semata-mata berbuat nista dan menodai seni itu sendiri.”

Hamzah yang sehari-hari mengajar di FSRD ISI Padang menebalkan pernyataan Wiradana. “Karya adalah pantulan jiwa jaman, maka secara implisit keadaan jaman akan tersirat di dalam sebuah karya,” demikian tutur Hamzah.

Tomy Faisal Alim
MIDNIGHT DI WARUNG KOPI
Acrylik on canvas, 125 x 70 cm, 2010

Namun menyoal arus seni rupa mutakhir, Hamzah menangkap sinyalemen positif. Ia berpendapat perlahan namun pasti seni rupa kembali kepada porsinya. Sebab seniman sudah mulai sadar, karya seni adalah refleksi jiwa terhadap lingkungan dan jaman yang dilaluinya. Mereka pun berkarya mencurahkan ide-gagasan, intelektual dan pikiran dengan menyisipkan nilai-nilai positif, totalitas teknik dan tidak sekadar berorientasi kepada pesanan pasar semata.

Analisa senada dilontarkan oleh Tomy Faisal Alim, “Sejak Indonesia ikut dilanda krisis ekonomi dua tahun lalu, dan setelah ada koreksi pasar serta wacana seputar kegundahan akan keberlebihan kurator yang seakan turut menentukan garis nasib seniman, kini mulailah pekerja seni atau seniman kembali melukis dengan hati, ditambah tampilnya galeri-galeri yang sepenuhnya tidak membutuhkan kurator. Menurut saya ini adalah suatu proses pendewasaan yang cukup natural dan tidak prematur.”
   
Muhammad Iqbal, seorang pemikir cum penyair Islam terkemuka asal Pakistan menegaskan bahwa hakekat seni adalah kreativitas yang harus benar-benar mampu menguraikan ‘kesejatian’ sang seniman, sehingga karyanya bukan merupakan tiruan dari yang lain (imitasi) dari karya seni sebelumnya maupun dari alam semesta. Bagi Iqbal karya seni harus menciptakan ‘apa yang seharusnya’ dan ‘apa yang belum ada’ dan bukan sekadar menggambarkan ‘apa yang ada’.

Haryanto-IMAJINASI KUNCI, Oil on canvas. 2011
Ada sebuah ungkapan Iqbal yang cukup terkenal: seni adalah dusta yang kudus. Zam Kamil sebagai salah seorang inisiator tema “Dusta Suci” mengakui sangat terinspirasi dengan kalimat Iqbal tersebut. Iqbal memiliki sudut pandang pengamatan yang unik mengenai dasar korelasi seniman dengan publiknya, yakni aspek ‘manipulasi rasa’. Acapkali seniman memulai pekerjaannya dari imajinasi, sehingga publik seni – yang notabene sebagai kumpulan manusia merdeka – ditempatkan tepat di tengah-tengah dunia ciptaan sang seniman. Ketika berhadapan dengan keagungan karya seni, publik merasakan keindahan, kesedihan atau rasa sensasi-sentimen lainnya. Melalui keindahan yang diciptakannya, hasrat ekspresi kehendak seniman cenderung ingin menguasai alam bawah sadar publik seni yang berisi tumpukan memori kolektif, namun pada titik tertentu ia justru memperoleh maknanya dalam konteks yang beragam, sesuai dengan pengalaman bathin publiknya.

Di tengah arus besar seni rupa representatif yang melanda Indonesia dengan riak-riak kecil bernama ‘photographic art’, (loli) pop art atau apapun namanya, kita patut merasa bersyukur masih memiliki Spirit ’90 yang mampu menghibur hati kita dengan keliaran ekspresi dan kesetiaan mereka kepada ‘kata hati’. Sebagaimana ulasan Suwarno Wisetrotomo yang saya kutip di atas, kecenderungan totalitas ekspresi kata hati, liar dan jauh dari kesan menata-nata diri rupa-rupanya masih menjadi ‘ideologi’ seniman anggota Spirit ‘90.

Joko Sulistiono-EVERYDAY FOR FUN
Mixed media on canvas, 140 x 200 cm, 2011

Lihat saja betapa sapuan-sapuan ekspresif diikuti lelehan cat basah dengan balutan warna-warna berat dalam karya 'Binatang Mitologi' dan 'Alam Kuning' buah tangan I Nyoman Sukari atau 'Everything OK' karya I Made Wiradana; guratan-guratan kasar pada 'Rumah Kenangan' karya Hamzah; coretan-coretan gangguan (tucked) 'Enigma' dan 'Perempuan, Batu dan Tuhan' karya Zam Kamil; grafiti dan coretan-coretan liar 'Just for Fun' dan 'This is not Art' karya Joko ‘Gundul’ Sulistiono; sapuan-sapuan dimensional khas Tomy Faisal Alim pada 'Midnight in Waroeng Kopi'; atau perkawinan teknik ‘kaligrafi’ dengan pointilis yang diikuti eksplorasi media pada karya-karya Moch Basori bertajuk 'My Body' dan 'Subur' (Fertile) adalah secuil khazanah kekayaan encourage yang tersimpan di dalam sebuah kotak brankas bernama Spirit ’90. Kotak brankas baja tahan karat yang ketika terbuka tutupnya membuncahkan sihir maha dahsyat yang mampu menggugah sensasi, perasaan berdebar, ngeri, masygul berkelindan dengan memori akan moment puitis keseharian kita.

I Wayan Sunadi-POWER OF NATURE
Mixed media on canvas, 65 x 77 cm, 2011

Pembukaan pameran Spirit ’90 di Santrian Gallery yang berlangsung sederhana itu dimulai tepat waktu pukul 18.30 WITA dan dihadiri sekitar 260 (dua ratus enam puluh) orang undangan, wartawan dan tamu villa Griya Santrian. Adalah I Made Astawa atau kerap dipanggil Pak Dollar yang memiliki jasa besar mewujudkan pameran “Dusta Suci” ini. Pak Dollar mengaku telah mengenal kelompok Spirit ’90 ketika mereka berpameran di Art Center Bali tahun 1995. Beberapa personel Spirit ’90 dari Bali adalah kakak kelasnya ketika masih menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Bali. “Pada jamannya kelompok Spirit ’90 pernah  memberikan sesuatu yang baru bagi perkembangan seni rupa tanah air. Karya-karya mereka memiliki gaya yang berbeda-beda dan masing-masing memiliki kekuatan. Saya ingin menampilkan kembali Spirit ’90 ke hadapan publik seni rupa di Bali karena kelompok ini pernah andil memicu semangat seniman-seniman Bali terutama yang mengambil jalur seni rupa kontemporer ketika berpameran di Art Center Bali tahun 1995 silam.”

Hardiman, alumni UPI Bandung yang saat ini tengah melakukan riset mengenai tokoh-tokoh perempuan perupa kontemporer di Indonesia menambahkan, sungguh sebuah keistimewaan tersendiri Spirit ’90 sebagai sebuah kelompok mampu bertahan sejak 1990. Secara individu masing-masing anggotanya pun eksis. Ditilik dari segi proses, masing-masing individu telah menemukan kediriannya melalui eksplorasi yang terus-menerus dan bertahun-tahun. Suwarno Wisetrotomo salah seorang yang pernah demikian intens mengikuti perkembangan Spirit ‘90 mengungkapkan harapannya terhadap kelompok ini, “Sesuai dengan namanya, saya berharap mereka dapat menjaga spirit untuk terus kreatif, eksploratif, cerdas dan artikulatif. Hanya dengan cara demikian mereka dapat bermakna di tengah kehidupan seni rupa yang riuh ini.”

M. Sugian Noor-BEKAL DARI LANGIT
Oil on canvas, 150 x 100 cm, 2007
Spirit itu pula yang disinggung oleh Dr. Oei Hong Djien (OHD) dalam pesan singkatnya via email. Tak hanya semangat bergeraknya namun spirit di dalam karya-karya seni lukis ekspresionisme kelompok Spirit ’90 adalah aspek menarik lainnya. OHD yang hingga saat ini mengoleksi karya-karya I Nyoman Sukari, I Made Wiradana, Moch Basori, Rudy Pariasa, Multazam Kamil, Hamzah, I Ketut Tenang, Teguh Ritma Iman, Ida Wayan Bagus Krishna Santi Baskara dan Sigit Fitri Nugroho berharap kelak seniman-seniman anggota Spirit ’90 mampu menjadi seniman handal dan tulen. Seniman-seniman muda lainnya harus mulai berbenah diri dan tidak mudah membebek.

Demikianlah Spirit ’90, sebuah narasi romantisme dan fenomena seni rupa Indonesia. Dua dekade sudah kelompok ini mewarnai sejarah seni rupa tanah air. Di tengah gemuruh deru komodifikasi seni rupa nasional dan internasional serta kian kencangnya laju wacana seni rupa mutakhir kita berharap Spirit ’90 tidak terhuyung-huyung kehilangan arah. Usia dua puluh tahun sekiranya adalah usia matang untuk menapaki tangga pertarungan gagasan serta wacana seni rupa tanah air dan dunia. Tak salah sekiranya harapan Suwarno Wisetrotomo serta Dr. Oei Hong Djien di atas adalah representasi harapan publik seni rupa tanah air yang dibebankan ke atas pundak kelompok ini. Bravo Spirit ’90.
   
Historiografi:
1.    1991 “Safari Remaja Berprestasi”, P3G Kaliurang, Yogyakarta.
2.    1991 “Angkatan '90”, Gedung Kartapustaka, Yogyakarta.
3.    1994  “Spirit ‘90”, Purna Budaya, Yogyakarta.
4.    1994 “Membuka Pintu”, Studio Spirit Ngadisuryan, Yogyakarta.
5.    1995 “Ekspedisi”, Art Center Bali.
6.    1997 “Reuni #1”, Purna Budaya, Yogyakarta.
7.    2001 “Spirit ‘90”, INA Gallery, Jakarta.
8.    2002 Pameran & dialog seni “Ritus Kangen”, Purna Budaya, Yogyakarta.
9.    2005 Reuni #2 Spirit ‘90 “The Survivor of Spirit”, FM Cafe Sosrowijayan, Yogyakarta.
10.    2011 Reuni #3 “Dusta Suci”, Santrian Gallery, Sanur, Bali.


Mei, 2011
DEDI YUNIARTO
(http://www.senimana.com/berita-187-pameran-senirupa-spirit-90-di-bali.html)

No comments:

Post a Comment