Kompas, Jumat, 29 Oktober 2010
RAMAH TAMAH TANAH JAWA, 2010 |
Pada tema yang sejenis, Nurul Hayat atau Acil membuat patung dari kertas koran. Ia membuat sebuah pulau. Di atasnya ada pohon kecil merunduk pada sesosok manusia berkepala back-hoe. Lewat karya berjudul 'Ramah Tamah Tanah Jawa' itu Acil menyentil budaya Jawa yang permisif. Bahkan, ketika sesuatu yang datang dari luar itu membahayakan dirinya.PARA PERUPA lintas generasi memamerkan karya mereka pada pameran berjudul 'Tanah Djawa' 27-31 Oktober di Taman Budaya Yogyakarta. Pada pameran yang digelar kelompok Arts Liberation Front itu, setiap perupa melihat dan menyoal Jawa dengan cara yang berbeda-beda.
Anton Larenz, selaku kurator pameran itu, membagi karya dari 38 perupa pada sejumlah subtema. Masalah alam di tanah Jawa agaknya menjadi perhatian banyak perupa. Hal itu terlihat dari sejumlah lukisan maupun karya tiga dimensi yang mengangkat masalah alam.
Budi 'Bodhonk' Prakoso dalam lukisannya, 'Melewati Batas', misalnya, menampilkan sesosok tubuh berkepala tumpukan rumah. Rumah-rumah itu menumpuk dan berjejal-jejal sampai tinggi. Di sekitar tubuh itu ada rumah-rumah yang beterbangan di udara dan diperebutkan sekelompok manusia.
Lewat karya itu, Budi sedang menyoal dampak urbanisasi serta pertumbuhan populasi di Tanah Jawa. Tanah ini harus terus menanggung beban berat. Tanah Jawa yang hijau tinggal kenangan. Pada tema yang sejenis, Nurul Hayat atau Acil membuat patung dari kertas koran. Ia membuat sebuah pulau. Di atasnya ada pohon kecil merunduk pada sesosok manusia berkepala back-hoe. Lewat karya berjudul 'Ramah Tamah Tanah Jawa' itu Acil menyentil budaya Jawa yang permisif. Bahkan, ketika sesuatu yang datang dari luar itu membahayakan dirinya.
Selain menyoal alam, sejumlah perupa juga mengangkat isu budaya. Mereka menyoal nasib budaya lokal (tradisional) di tengah derap budaya global. Pada konteks itulah, Nurcholis membuat karya 'Rasido Mukti'. Ia membuat lukisan corak batik berwajah Putri Diana dari Inggris di sela-selanya. Judul itu plesetan corak batik 'sido mukti' yang bisa diartikan 'menjadi makmur'. Dengan demikian, rasido mukti berarti tidak jadi makmur. Dengan karya itu, ia tidak hanya menyinggung nasib batik sebagai simbol budaya lokal. Tersisihnya budaya lokal ternyata menyisihkan manusia lokal.
Budaya global juga mengubah manusia. Itu bisa dilihat dari sifat manusia Jawa, terutama generasi modern di perkotaan yang menjadi konsumtif. Kecenderungan itu, misalnya, disoal Bayu Widodo pada karya 'Cerita Kota'.
Wakil Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti dalam sambutannya untuk pameran itu mengatakan, keterlibatan 38 seniman dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta menunjukkan kontribusi konkret seniman. (ARA)
No comments:
Post a Comment