Saturday, March 3, 2012

SANGGAR SUWUNG DAN KEBERAGAMAN

Terlihat jelas melalui karya-karyanya Acil sedang mengkritisi fenomena politik, ekonomi dan lingkungan yang saat ini sedang terjadi di Indonesia. Lihat saja lambannya pembahasan RUU di MPR/DPR yang pasti akan berdampak pada tersanderanya laju pembangunan, kasus-kasus korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) yang terus berulang dan melibatkan pejabat negara, penjarahan kekayaan alam Indonesia oleh perusahaan-perusahaan asing, dsb.
MENEMBUS BATAS’ dipilih oleh sembilan orang seniman anggota Sanggar Suwung Yogyakarta sebagai tema pameran bersama mereka di Bentara Budaya Yogyakarta tanggal 13-19 Juli 2011 berselang. Sembilan seniman itu adalah Nurul Hayat (Acil), Budi ‘Bodhonk’ Prakoso, Yayat Lesmana, Alim Bakhtiar, Dhadang SB, Kemal ‘Sipink’ Suhada, M. Rachmat Muchtar, Uret Pariono dan Mulato Suprayogi.

Dari pilihan tema dapat diketahui misi pameran yang hendak menegaskan kembali konsistensi Sanggar Suwung sebagai sebuah kelompok seniman. Bukan hanya itu, tentu saja kegiatan pameran bersama ini dipastikan mengusung muatan gagasan serta wacana tertentu yang terselip melalui karya-karya yang dipamerkan. Budi ‘Bodhonk’ Prakoso dalam sebuah wawancara menegaskan bahwa pameran bersama ini dimaksudkan untuk mengedepankan entitas komunal sebuah sanggar. “Sanggar bukanlah entitas yang melulu tidak berjalan seiring perkembangan jaman. Namun sebaliknya, Sanggar Suwung ingin membuktikan salah satu tonggak pencapaian kelompok kebudayaan dalam wadah sanggar,” terang Budi ‘Bodhonk’.

Budi 'Bodhonk' Prakoso-PEMBANGUNAN PENGHANCURAN
Acrylic on canvas, 100 x 200 cm, 2011
Seterusnya Bodhonk berharap kedepan akan muncul sanggar-sanggar baru yang memiliki pandangan maju serta mampu meramaikan khasanah  kesenian di kota Yogyakarta maupun Indonesia. Sementara dari sudut pandang yang lebih sempit, diharapkan event pameran ini mampu merangsang kreativitas anggota Sanggar Suwung lainnya yang sudah tidak aktif berkesenian.

Selain sebagai sebuah statement atas eksistensi sanggar yang tetap terjaga hingga sekarang, pameran ini juga dimaksudkan sebagai aksi yang terlahir dari analisa bersama atas situasi komunitas dalam konteks seni dan budaya.

Mulato Suprayogi-RAJA KAYA
Mixed media, variable dimension, 2011
Sanggar Suwung dalam pernyataan press release menilai saat ini sudah tidak banyak komunitas seni yang memiliki ‘nafas panjang’ ketika menjalankan gerak kerja-kerja kebudayaan padahal sanggar merupakan kantong kebudayaan yang berpotensi sebagai ‘areas of the culture encounter’ di mana berbagai individu yang datang dari macam-ragam latar belakang dapat saling belajar dan berkarya. Pun sanggar bukanlah
sekadar ruang sekolah, panggung pagelaran, ataupun workshop (bengkelkerja). Di dalam wadah sanggar antar individu dapat saling belajar membina persaudaraan, berkarya melalui nilai-nilai kebersamaan serta menjunjung tinggi asas pluralisme.

Pameran yang dihadiri sekitar seratus lima puluh publik seni Yogyakarta itu dibuka oleh mantan Kepala Taman Budaya Yogyakarta, Dian Anggraeni Rais. Pembukaan dimeriahkan pula oleh aksi panggung Santy Saned, Keroncong Revolusi, Kelompok Kinnara, Kepal SPI, Etnik Satoe, dsb.

Dalam pidato pembukaan, Dian Anggraeni menegaskan event pameran ‘Menembus Batas’ diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan kecakapan seniman Sanggar Suwung dalam berkarya. “Semoga kedepan Sanggar Suwung menjadi tempat berkumpul para seniman untuk saling bertukar ide dan gagasan yang menentang zaman,” ujar Dyan.Ruang pamer Bentara Budaya Yogyakarta yang tak seberapa besar itu dipenuhi oleh sekitar dua puluh tujuh karya dengan mengetengahkan karya-karya dua dan tiga dimensi. Khusus untuk karya-karya tiga dimensi masing-masing disuguhkan oleh Nurul Hayat (Acil) dan Mulato Suprayogi.

Nurul 'Acil' Hayat
MEMBABI BUTA, 2011
Acil membuat karya-karya tiga dimensi dengan media kertas koran (newsprint). Menarik untuk disimak isu yang disuguhkan melalui karya-karya kertas koran ini. Lihat saja karya berjudul ‘wewewe.kurakuratidaktahu.ko.it’ dengan figure seekor kura-kura yang notabene binatang paling lamban menoleh ke kiri dengan rumah kura-kura (cangkang) berbentuk kubah gedung MPR/DPR, atau karya ‘Membabi Buta’ yang menggambarkan sosok seorang ‘tentara’ berwajah binatang babi lengkap dengan seragamnya sambil memegang senjata laras panjang dengan moncong alat penghisap debu dan dipunggungnya menempel benda berbentuk tangki BBM.

Ada satu lagi karya bertajuk ‘Peringkat’ dengan figure sesosok makhluk dengan mulut yang penuh bongkahan ‘makanan’. Sosok makhluk berperut buncit itu tengah duduk di atas tumpukan kertas koran bekas. Dan yang menarik adalah koran-koran bekas itu ditumpuk begitu saja menempel pada tembok ruang pamer dengan ketinggian berbeda-beda sehingga berhasil mengecoh pengunjung karena sekilas terlihat bagai onggokan sampah koran belaka.

Nurul 'Acil' Hayat
WEWEWE.KURAKURATIDAKTAHU.KO.IT, 2011

Terlihat jelas melalui karya-karyanya Acil sedang mengkritisi fenomena politik, ekonomi dan lingkungan yang saat ini sedang terjadi di Indonesia. Lihat saja lambannya pembahasan RUU di MPR/DPR yang pasti akan berdampak pada tersanderanya laju pembangunan, kasus-kasus korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) yang terus berulang dan melibatkan pejabat negara, penjarahan kekayaan alam Indonesia oleh perusahaan-perusahaan asing, dsb.
“Media kertas koran ini memberi kemungkinan untuk mengeksplorasi ide-ide yang tidak tertampung oleh dua dimensi. Imajinasi nakal dapat sepenuhnya diwujudkan, “ terang Acil ketika ditanya latar belakang pemikiran kreatifnya.

Nurul 'Acil' Hayat-PERINGKAT, 2010
Mengapa kertas koran? Acil menerangkan bahwa koran merupakan simbol kehidupan urban. Era informasi sekarang ini secara otomatis menempatkan koran sebagai wahana eksistensi manusia urban. Dalam perkembangan proses kreatifnya, Acil menemukan fakta bahwa dialektika kehidupan modern pada suatu ketika menempatkan ‘teks’ sebagai pembentuk ‘konteks’. Dalam arti, teks yang diwakili oleh lembar-lembar kertas koran itu pada akhirnya bertransformasi sebagai pembentuk nilai-nilai identitas manusia perihal kecantikan, ketampanan, harga diri, eksistensi diri, lifestyle, peradaban, dsb. Untuk karya dua dimensinya, Acil masih tetap mengolah kertas koran yang direkatkan di atas bidang kanvas menjadi olahan teknik lukis kolase.


Sedikit mengenai Sanggar Suwung, kelompok ini bermula dari Kelompok Pendopo yang dimotori oleh mahasiswa seni rupa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta sejak tahun 1988. Awalnya bermarkas di Wirogunan MG. II No. 79-B, jalan Tamansiswa, Yogyakarta. Kemudian pada tahun 1992 pindah ke sebuah rumah kontrakan yang terletak di jalan Tamansiswa Surokarsan MG II No. 566. Di tempat ini mereka merubah namanya menjadi Sanggar Suwung hingga saat ini.

M. Rahmat Muchtar-NYAM-NYAM UDUK-UDUK
Acrylic on canvas, 100 x 100 cm, 2011

Adapun nama Sanggar Suwung dipilih karena bersesuaian dengan kondisi rumah baru mereka yang sebelumnya telah lama dalam keadaan kosong (tak berpenghuni) dan terkesan angker. Namun dalam kerangka filosofi istilah ‘suwung’ itu sendiri diambil dari konsepsi pemikiran Jawa yang memiliki arti ‘kosong’. Masyarakat Jawa mengenal istilah ‘suwung iku sajatining isi’ atau dalam kekosongan itu mengandung isi, sebab di dalam kosong terjadi proses terciptanya energi.

Dalam konsepsi masyarakat Hindu, kosong sering disepadankan dengan nol, namun nol di sini tidak bisa disamakan dengan hampa. Nol adalah bulatan, lingkaran, ning. Ning nol bisa berarti sebuah ruang kosong yang tidak bisa diukur awal dan akhirnya. Ia tak punya titik mulai, dan tidak memiliki partikel akhir. Ning nol adalah sebuah siklus, sebagaimana diajarkan Bhagawadgitha: akhir dari kematian adalah kelahiran, akhir dari kelahiran adalah kematian.

Yayat Lesmana-UNDER WATER
Oil on canvas, 150 x 110 cm, 2011

Dikemudian hari anggota Sanggar Suwung datang dari berbagai kultur serta disiplin seni seperti musik, sastra, teater, seni rupa dan seni pertunjukan lain, akademisi maupun non-akademisi. Mereka dikenal sangat produktif serta banyak mengadakan kegiatan seni, termasuk melakukan kolaborasi dengan beberapa seniman besar diantaranya Sawung Jabo dan Kantata Takwa.


July, 2011
DEDI YUNIARTO

No comments:

Post a Comment